Act.36 Let Me Help You

31K 5.3K 236
                                    

Mataku menyocokkan nomor yang ada di pintu dengan pesan yang dikirimkan Arsya, sebelum pelan-pelan mendorong pintu ruang perawatan itu. Berusaha untuk tidak membuat kegaduhan, aku menutup pintu itu pelan-pelan.

Tempat tidur paling dekat dengan pintu dalam keadaan kosong, sehingga aku berjalan lebih memasuki kamar itu. Tirai di bagian tengah sedikit terbuka dan saat mengintipnya, aku tidak mengenali sosok yang dirawat di sana. Aku pun meninggalkannya dan menuju ke tempat tidur paling ujung, di dekat jendela. Aku berharap Arsya ada di sana, atau setidaknya ada Asti, sehingga aku terhindar dari awkward moment saat bertemu ibunya Arsya.

Seharusnya aku menghubunginya, tidak sok-sokan datang tanpa kabar dan ingin memberi surprise.

Arsya memintaku untuk istirahat dulu. Kalaupun ingin ke Bandung, bisa besok. Namun, aku rasa sudah cukup tidur sampai siang, sehingga setelah makan siang, aku beranjak menuju Bandung.

Aku menghela napas panjang sebelum mengulurkan tangan untuk menyibak tirai penutup itu. Aku sudah akan membukanya, tapi urung ketika mendengar suara percakapan pelan. Mendadak aku jadi ragu, apa aku datang di saat yang kurang tepat?

Meski pelan, aku bisa mengenali suara Asti. Hanya ada satu suara lain, yang kuyakini sebagai suara Mama. Tidak ada suara berat laki-laki di sana.

Apa Arsya ada di rumah?

"Yakin Mas kamu itu masih ada uang?"

Aku baru saja membalikkan badan untuk keluar dari kamar inap, dan menghubungi Arsya. Namun, pertanyaan itu memakuku. Bukannya pergi, aku malah semakin menajamkan pendengaranku.

"Katanya ada."

"Apanya yang ada. Semua uang Mas-mu itu sudah habis."

Aku menggigit bibir, berusaha untuk tidak berbuat keributan. Sebenarnya aku sadar, tidak di tempatnya untuk menguping seperti ini.

"Katanya diusahain."

"Mas Arsya nelepon Pak De?"

Aku tidak mendengar balasan dari Asti. Mungkin dia mengangguk atau menggeleng.

"Bilang sama kakakmu, kalau harus minjam uang sama Pak De, biar Mama yang ngomong. Mama enggak sanggup mendengar kakakmu itu dihina lagi sama Pak De, padahal dia enggak salah."

Ada nada getir di balik nada suara Mama, seolah sedang menahan tangis.

Di tempat persembunyianku, aku hanya bisa terpaku. Sedikit banyak aku bisa mengurai permasalahan apa yang dihadapi Arsya.

Bukan ini cara yang kuharap untuk mengetahui apa hal pelik yang membuatnya begitu tertutup seperti ini.

Seharusnya aku pergi, tapi aku malah bergeming di tempatku.

"Mas Arsya enggak akan ngizinin. Lagian, Pak De pilihan terakhir."

"Sekarang dia di mana?"

"Di informasi, mau mengecek tagihan sementara berapa."

"Kamu telepon, Mama mau ngomong."

"Ponselnya ditinggal, lagi di-charge. Aku panggilin?"

Aku tersentak. Refleks aku berbalik dan keluar dari ruang perawatan itu sebelum dipergoki oleh Asti dan ketahuan sudah menguping.

Dengan setengah berlari, aku menuju lift dan turun ke lobi utama. Tadi, aku tidak mengecek keadaan di lobi sehingga tidak menyadari keberadaan Arsya di sana. Begitu pintu lift terbuka di lantai dasar, aku bergegas menuju informasi.

Beberapa langkah dari Arsya, langkahku terhenti. Dia ada di sana, duduk terpekur dengan pundak terkulai lemah. Di tangannya ada selembar kertas. Satu tangannya memijit pelipisnya.

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now