Act. 8 Different Kind of Kisses

51.9K 6.2K 436
                                    

Aku membenarkan letak kacamata, untuk melindungi mataku dari sorot matahari. Kalau Sandra ada di sini, dia pasti akan meledekku yang berjemur di pinggir kolam, lengkap dengan bikini favorit, seolah-olah saat ini aku berada di beach club di Bali.

Seandainya saja saat ini aku berada di Bali.

Pekerjaan yang padat membuatku harus membuang jauh-jauh keinginan untuk liburan. Setelah syuting selesai, aku pun disibukkan dengan kegiatan promosi yang masih berlanjut sampai sekarang. Malah, promosi kian gencar menjelang detik-detik perilisan. Jadi, tidak ada waktu untuk sekadar kabur ke Bali dan berjemur dengan layak di bawah sinar matahari Bali.

Untuk saat ini, sekadar berjemur di dekat kolam renang sudah cukup.

Keasyikanku berjemur terganggu dengan kehadiran seseorang yang berdiri di dekatku, sehingga menghalangi tubuhku dari paparan sinar matahari. Dengan keberatan aku membuka kacamata hitam yang kupakai.

Senyum manis di wajah Arsya menyambutku. Perasaan kesal yang tadi muncul, mendadak lenyap.

Baru tiga hari yang lalu aku bertemu dengannya. Tentu saja, aku tidak keberatan untuk bertemu lagi dalam kurun singkat seperti ini.

Terlebih, ucapannya malam itu masih terngiang di benakku. How he encourages me to not underestimate myself, it means a lot.

"Hi."

Ada banyak kata berkecamuk di benakku, tapi hanya satu kata itu yang berhasil keluar.

Arsya mendudukkan tubuhnya di pinggir sunbed yang kujadikan tempat berjemur. Dengan kehadirannya di sini, aku pun melupakan niat untuk sunbathing. Aku pun mengangkat tubuhku dan duduk bersila di dekatnya.

"Mau ketemu Papa?" tanyaku, sambil memindahkan kacamata hitam ke atas kepala.

Arsya mengangguk. Dia memutar tubuhnya dan sebelah kakinya bersila di atas sunbed, sehingga dia duduk menghadap ke arahku.

Dalam diam, aku memeriksa gelagatnya. Namun, dia tetap bersikap tenang. Matanya tidak jelalatan, seperti pria mata keranjang yang sulit untuk menatap mata lawan bicara, dan memilih untuk kelayapan menggerayangi tubuhku.

He's so polite.

And kind.

"Papa lagi pergi sama Mama." Di hari Sabtu, itu jatahnya Papa pergi dengan Mama. Entah olahraga bareng atau sekadar jalan-jalan. Dan, tidak ada satu pun yang bisa mengganggu gugat waktu mereka.

"I know. Janjiannya nanti, jam satu."

"Terus? Ini paling belum jam sepuluh," sahutku. Aku tidak memakai jam tangan, dan malas menjangkau ponselku yang ada di meja di samping sunbed untuk mengecek jam.

"Papamu bilang kamu ada di rumah, jadi aku ke sini lebih awal."

Aku menatap Arsya dengan mata menyipit. "Any particular reason?"

"Nothing. Cuma pengin ketemu."

Refleks aku menyemburkan tawa ketika mendengarkan kejujurannya. Dia boleh saja berkata dengan tenang, tapi dia tidak bisa menutup-nutupi kegelisahannya.

Di mataku, dia justru terlihat menggemaskan.

Namun, ketika dia tidak berkata apa-apa, hanya menatapku tanpa jeda, aku pun berhenti tertawa. Tatapannya terasa menusuk, tapi tidak membuatku jengah.

Alih-alih, dia seakan menawarkan kesempatan untuk menjelajahi dirinya lebih jauh lewat tatapan itu. Dan aku tidak menyia-nyiakan undangan itu.

Dengan terang-terangan, aku membalas tatapannya. Otakku merekam setiap jengkal wajahnya. Alisnya yang tebal, membuat wajahnya terlihat tegas dan berkarakter. Tatapannya yang tajam, tapi juga terasa lembut. Kerutan yang mengintip di ujung matanya. Anak-anak rambut yang berkeliaran di keningnya. Bibirnya yang merekah.

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now