Act. 12 Movie Date

45.5K 5.8K 200
                                    

Aku jatuh cinta kepada akting semenjak mendapat peran kecil di film remaja, sekitar dua belas tahun yang lalu. Bukan pengalaman yang membanggakan. Aktingku masih sangat mentah, dan jika dilihat-lihat lagi, aku tidak merasakan hal spesial dari peran tersebut. Namun, aku ingat ucapan seorang kritikus yang menyebutkan bahwa aku bisa jadi seorang aktris yang diperhitungkan jika serius menekuni akting.

Meski karierku cukup menjanjikan di dunia modeling, dengan gig demi gig berskala internasional yang kuterima, aku cukup tahu diri bahwa umurku tidak akan panjang. Akan selalu ada wajah baru yang siap menggantikanku. Karena itu, aku butuh back up plan.

Back up plan tersebut jatuh kepada akting.

Sejak kecil, Papa mengajarkan untuk selalu total. Jangan pernah setengah-setengah. Oleh karena itu, aku mengumpulkan keberanian selama berbulan-bulan hingga akhirnya berani menghadap kedua orangtuaku dan memutuskan untuk berhenti kuliah di Jakarta.

Alasannya, aku diterima oleh agensi model di London, sehingga memutuskan untuk pindah ke London di usiaku yang baru menginjak 20 tahun. Dan juga, aku ingin kuliah di jurusan performing arts di London.

Sebagai seorang akademisi, Papa selalu menomorsatukan pendidikan. Aku sudah mengecewakannya dengan gagal masuk UI, dan sekarang aku pun ingin berhenti dari kuliahku di London School.

Namun, Papa mengizinkan. Aku masih ingat pesannya waktu itu. "Kalau kamu serius, silakan. Belajar yang benar dan pastikan ilmu yang kamu dapat berguna untuk masa depanmu."

Berbekal izin dari Papa, aku berangkat ke London.

Tidak mudah untuk memasuki industri perfilman di Indonesia. Terlebih untukku, karena peran yang dirasa cocok untukku sangat sedikit. Tubuhku yang tinggi juga menjadi penghalang, karena sedikit aktor yang bisa mengimbangiku. Sehingga, aku pun harus puas dengan peran antagonis atau karakter yang tidak jauh dari keseharianku, seorang model.

Hingga akhirnya aku dipercaya menjadi pemeran utama di film Silence. Di usia 33 tahun. Bagi sebagian orang, sudah sangat terlambat untukku. Namun, tidak ada kata terlambat, karena aku sedang tidak berkompetisi.

Bagiku, Silence menjadi proyek yang istimewa. Bukan hanya karena aku menjadi pemeran utama, melainkan karena peran sebagai perempuan bisu jelas tidak mudah untuk ditaklukkan. Banyak yang skeptis, bagaimana mungkin perempuan berwajah galak sepertiku bisa memerankan karakter dengan kisah hidup yang memilukan?

Ketika lampu bioskop menyala seiring dengan munculnya credit title di layar lebar di hadapanku, juga gemuruh tepuk tangan yang memenuhi seisi ruangan, aku tidak kuasa untuk menahan air mata.

"Good job," bisik Andy Reza, lawan mainku. Aktor kawakan yang dipercaya menjadi lawan mainku.

"Thanks," bisikku.

Berbeda denganku, sudah tidak terhitung berapa film yang memasang Andy sebagai pemeran utama. Semua filmnya meledak di pasaran. Bermain bersama Andy ibarat berkah, sekaligus mimpi buruk karena sulit untuk mengimbanginya. Film ini membuatku melihat Andy dari sudut pandang berbeda, dan kuakui dia mentor yang baik.

Andy bangkit berdiri dan mengulurkan lengannya. Setelah menghela napas, aku melingkarkan lenganku di lengannya. Bersama, kami menuruni tangga dan mendahului yang lainnya menuju café yang menjadi tempat konferensi pers.

"Don't be nervous," bisiknya lagi, sambil menepuk pelan tanganku yang melingkari lengannya.

"Ini rasanya kayak mau masuk ke ruang sidang," timpalku.

Andy terkekeh. "Kayak yang pernah masuk ruang sidang aja," godanya.

"Memangnya, lo enggak gugup?" tanyaku, yang langsung kusesali. "Tentu saja, ada kali ratusan press conference yang lo datangi."

[COMPLETE] Philosophy of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang