Act. 23 Nightmare

45.7K 5K 233
                                    

"Jadi berangkat?"

"Jadi, ini lagi di jalan." Aku menyahuti pertanyaan Arsya sambil berkonsentrasi dengan jalanan di hadapanku. Entah apa yang terjadi, karena siang ini sangat macet.

"Bareng Inge dan Irma?"

"Nope, sendiri," sahutku sambil menjalankan mobil, hanya beberapa meter saja. Setelahnya, aku tidak bisa melakukan apa-apa karena mobil di depanku juga ikut berhenti. "Ini jadwal unofficial sebenarnya. Kebetulan aku lagi kosong, dan diajakin foto sama Mas Pandu, jadi kenapa enggak? Hitung-hitung nambah portfolio."

Aku bisa menyebutkan beberapa nama yang berperan penting dalam karierku. Sosok yang pertama kali memberikan kepercayaan kepadaku. Selain Tante Amy, aku juga berutang budi kepada Mas Pandu, fotografer kawakan yang setiap hasil bidikan kameranya selalu memuaskan. Mas Pandu yang pertama memotretku, sewaktu aku baru menjuarai Gadis Sampul. Setelah itu, aku sering bekerja dengannya. Dia memiliki mata yang sangat jeli, sehingga setiap hasil fotonya selalu berkarakter. Di perayaaan 25 tahun dia berkarya, aku merasa terhormat ketika dia memintaku menjadi modelnya dan mengikutsertakan fotoku di pamerannya.

Sudah lama aku tidak bertemu dengannya, sampai di malam perilisan filmku. Awalnya dia tidak serius ketika mengajakku untuk sesi foto , tapi aku langsung menyanggupinya. Kebetulan jadwalku tidak begitu padat, sehingga langsung menemukan hari yang pas. Lagipula, kesempatan ini belum tentu datang dua kali.

Lagian, siapa yang bisa menolak ajakan Pandu Sasmita?

"Hati-hati, ya."

Aku mendengung singkat, bersamaan dengan munculnya ruang kosong di depanku. Dengan sigap aku memacu mobil karena tidak ingin terjebak lampu merah untuk ke sekian kalinya. Begitu aku membelokkan mobil usai lampu merah di perempatan Permata Hijau, aku menemukan sumber malapetaka hari ini. Ada mobil yang terjun bebas ke dalam kali. Aku hanya bisa tertawa, sekaligus prihatin melihat si pemilik sopir yang hanya bisa pasrah.

Selepas tempat kejadian, jalanan pun kembali lancar sehingga aku bisa memacu mobil. Tidak ada banyak waktu, karena aku tidak ingin datang terlambat.

"Aku sudah mau sampai," seruku. "Kamu jadi mau jemput?"

"Kamu selesai jam berapa?"

"Belum tahu. Paling enggak lama. Nanti aku tungguin di studio aja, sekalian ngobrol sama Mas Pandu sambil nungguin kamu," sahutku.

"Oke. Kamu share alamatnya aja."

Dari kejauhan, aku sudah melihat pagar tinggi yang menandai studio milik Mas Pandu. Aku pun memutuskan sambungan telepon, setelah Arsya sekali lagi meninggalkan pesan untuk berhati-hati.

Rasanya, ingin membalasnya dengan guyonan. Ini hanya photoshoot, dan aku sudah mengenal Mas Pandu selama belasan tahun. Dia orang baik, tidak perlu ditakuti. Namun, aku mengurungkan niat itu dan membiarkan diriku menikmati perhatian kecil itu.

Aku menekan klakson, memberitahu satpam soal kehadiranku. Satpam itu langsung membukakan pintu pagar.

Mas Pandu menyulap rumahnya sebagai studio. Lantai satu dia peruntukkan khusus sebagai studio foto. Kadang, dia juga menjadikan halaman rumahnya sebagai setting photoshoot, karena rumahnya yang megah dan bergaya Eropa, lengkap dengan taman yang tertatap rapi serta kolam renang, menjadi latar yang pas untuk foto.

Ini bukan kali pertama aku ke sini. Aku juga sudah mengenal satpam yang membukakan pintu tadi, karena sepanjang yang aku ingat, dia sudah sangat lama bekerja di sini.

Aku memasuki rumah sekaligus studio itu. Saat melirik jam tangan, aku bernapas lega karena tidak terlambat. Malah, aku datang setengah jam lebih awal.

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now