Act. 45 Sweet Surprise

38.9K 5.5K 336
                                    

"Gue enggak tahu ya, lo tuh emang dari dulu udah nyebelin tapi gue enggak sadar atau baru-baru ini aja?"

Selama belasan tahun berteman dengan Inge, rasanya baru kali ini aku mengkonfrontasinya seperti ini. Aku sudah tidak tahan lagi dengan sikapnya yang semakin hari kian menyebalkan.

Inge teman yang menyenangkan. Mungkin kebiasaan pesta dan clubbing yang membuatku dekat dengan Inge, tapi di lain sisi, dia memang teman yang asyik. Justru, itulah yang membuatku akhirnya menerimanya sebagai manajer.

"Speaking of you, lo manajer yang baik. I really appreciate it. Namun sebagai teman lo annoying," cecarku.

Inge hanya mendengus. Dia meradang ketika aku menyinggung soal laporan keuanganku yang masih belum diserahkannya kepada Arsya. Seharusnya dia menyimpan laporan itu dengan baik. Inge cukup apik, bahkan jauh lebih baik dibanding aku sehingga aku tidak bisa terima alasan dia teledor dan tidak mengarsipkan laporan itu dengan baik.

Aku mengungkitnya ketika Inge menyinggung soal bayaran untuk iklan terbaru. Namun, dia berkelit ketika aku menagih laporannya.

"As you know, lo yang akhir-akhir ini jadi nyebelin," balas Inge. "Well, pengaruh pacar lo itu. Biasanya mana pernah ada mantan lo yang ngerecokin kerjaan lo? They're fine with that, baru kali ini aja jadi masalah."

Aku menatapnya dengan mata menyipit. "Lo suka sama semua mantan gue, tapi lo sebenci ini sama Arsya."

Inge mengangkat bahu, sama sekali tidak mengelak dari tuduhanku. "Because he is a bad influence."

"Well, as you know, he is a good influence," bantahku.

"We'll see. Kalau lo tahu latar belakangnya." Inge tersenyum sinis.

Aku bersedekap di hadapannya, sekaligus mempersempit jarakku dengannya. "Kenapa? Lo pikir gue enggak tahu soal bokapnya?"

Inge terkesiap, tapi dia segera menguasai diri. Mungkin Inge hanya bermaksud menggertakku dan tidak menyangka kalau aku mengetahui rahasia Arsya.

"Buah enggak jatuh jauh dari pohonnya, Cali."

Aku tertawa pelan. "Bukannya itu juga berlaku buat lo? Buah enggak jatuh jauh dari pohonnya. I'm talking about your father."

Masalah ayah kandungnya sangat sensitif untuk Inge. Aku cukup menghargai privasinya dan tidak pernah menyinggungnya. Baru kali ini aku terang-terangan menyinggung hal tersebut.

Inge menatapku tajam. Wajahnya bersemu merah, menahan emosi karena aku menyerang telak ke bagian paling emosional dalam hidupnya. Dulu, Inge pernah jadi bahan olok-olok satu sekolahan ketika ayahnya ditangkap. Kejadian itulah yang membuatnya jadi dingin dan selalu to the point, karena membela diri dari olok-olokan.

Jujur, aku merasa tidak enak atas ucapanku barusan. Namun, kali ini dia sudah kelewatan.

"Don't you dare," geram Inge.

Aku sudah membuka mulut tapi urung saat Irma datang dan memberitahu soal giliranku untuk take.

"Kita baik-baik aja selama ini. Jangan sampai gue mengakhiri kontrak dengan lo karena sikap lo ini. Kirimin semua buktinya sama Arsya," ujarku tegas. "Whatever happen with him, itu enggak ada hubungannya dengan lo."

Selama beberapa saat, aku menatapnya dengan tegas sementara Inge malah membuang muka. Aku baru beranjak ketika Irma kembali memperingatkanku untuk segera take.

***

"Besok calling jam berapa, Ma?"

"Jam enam. Gue bangunin jam lima ya, Mbak."

[COMPLETE] Philosophy of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang