Act. 22 Sunshine Afternoon

43.9K 5K 169
                                    

Kadang aku iri dengan orang yang memiliki jam kerja tetap. Seperti Arsya atau Mas Rama misalnya. Jam kerjanya sudah pasti, Senin sampai Jumat. Lalu, weekend benar-benar bisa digunakan untuk istirahat atau melakukan hal lain. Tidak sepertiku, justru kadang weekend menjadi waktu paling sibuk dalam seminggu.

Aku lupa, kapan terakhir kali aku memiliki waktu kosong saat weekend. Aku sengaja mengiyakan roadshow yang tanpa henti itu, dan sebagai gantinya aku terbebas dari keharusan promosi di akhir pekan ni.

Setidaknya, aku bisa merasakan seperti orang normal. Weekend untuk santai, bukan untuk bekerja.

Aku menutup majalah yang selesai kubaca dan meletakkannya ke lantai. Tatapanku tertuju ke punggung Arsya. Saat ini dia tengah mengerjakan entah apa di meja yang ada di kamarku. Aku beringsut mendekat, memosisikan diriku tepat di belakangnya. Dengan posisinya yang duduk di lantai, aku menjadi lebih tinggi. Aku menurunkan kaki dan memosisikannya di kedua sisi tubuh Arsya. Aku mendekapnya dari belakang, dan mencoba mengintip apa yang sedang dilakukannya.

"Kamu lagi ngapain?"

"Nyiapin soal buat kuis dadakan besok," sahutnya.

"Kalau aku foto terus share di Instagramku gimana? Mahasiswa kamu pasti follow aku," godaku.

Arsya mencubit kakiku yang menjuntai di sampingnya, membuatku semakin gemas.

"Lagian kamu jahat. Masa bikin kuis dadakan. Aku yakin enggak ada mahasiswamu itu yang belajar. This is Sunday. You know, Sunday, fun day." Aku semakin bersemangat menggodanya.

"Aku pernah ambil salah satu kelas Papamu, di hari Senin jam delapan pagi. Selalu ada kuis dadakan. Jadi, setiap minggu bawaannya stres mikirin besok kuisnya gimana." Arsya terkekeh.

Aku mendecak. "Kamu sih pasti senang. Aku yakin, waktu sekolah dulu kamu paling girang kalau mau ujian."

Bukannya menjawab, Arsya hanya tertawa, membuatku yakin kalau tebakanku benar. Dulu, ada teman sekolahku yang selalu bersemangat setiap kali mau ujian. Tidak heran jika dia menjadi lulusan terbaik, bahkan salah satu yang terbaik di Jakarta. Sementara aku, sudah dinyatakan lulus saja syukur.

"Untung aku enggak punya dosen kayak kamu."

"Kalau kamu suka dengan pelajarannya, enggak akan jadi beban," sahut Arsya.

Lama aku terdiam, memikirkan ucapannya. Benakku melayang ke masa-masa kuliah dulu. Jika dipikir-pikir, ucapannya benar.

Selama dua tahun, aku mengambil jurusan Public Relation di LSPR. Aku tidak begitu fokus kuliah, selain karena terpaksa, juga karena pekerjaanku yang gila-gilaan. Sedikit banyak, aku masih kecewa karena gagal masuk UI, tapi aku mencoba mencari pembenaran. Kuliah di UI pasti lebih berat, belum tentu aku bisa sambil bekerja.

Namun, akhirnya aku tahu apa yang membuatku keberatan. Aku tidak sepenuhnya menyukai jurusan itu. Aku tahu panggilan hatiku, performing arts. Tadinya aku ingin pindah jurusan ke Performing Arts di LSPR tapi di saat yang bersamaan, aku menerima tawaran dari agen model di London. Sudah hampir setahun sejak aku mengirimkan aplikasi dan demo photo, dan sejujurnya aku sudah menyerah. Namun, jawabannya datang setahun kemudian.

Walaupun bagi sebagian orang pendidikan tidaklah penting untuk profesiku, Papa berpikir sebaliknya. Beliau membebaskanku untuk memilih ingin jadi apa. Kalau aku ingin fokus jadi model, silakan. Namun, jangan lupakan pendidikan. Baginya, pendidikan itu nomor satu. Akan selalu berguna, mungkin tidak sekarang, tapi suatu hari nanti. Jadi, aku memberanikan diri untuk meminta izin Papa dan pindah sepenuhnya ke London.

Kuliah Performing Arts bukan perkara mudah. Meski banyak tugas dan pementasan, aku enjoy menjalaninya. Aku tidak keberatan meski harus begadang untuk latihan, padahal hanya untuk pementasan teater skala kecil. Selalu ada adrenaline rush yang menguasaiku saat berdiri di atas panggung dengan banyak pasang mata mengawasiku. Semuanya harus sempurna, tidak boleh ada kesalahan sekecil pun.

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now