Act. 27 Money Talk

36.4K 5.4K 227
                                    

Aku mengambil lembaran struk hasil pembayaran makan malam dari tangan Arsya. Mataku awas mengamati setiap baris yang tertera di sana.

"Pajaknya gede juga, ya," ujarku pelan.

"Dari dulu kan memang 10%," timpal Arsya, sambil menyimpan kembali dompetnya ke dalam kantong belakang celananya.

Aku meyengir lebar. "Selama ini enggak pernah merhatiin."

Arsya tertawa pelan. Dia mengambil struk itu dari tanganku dan meremuknya, sebelum kertas itu mendarat di dalam tempat sampah.

Satu tangannya menggenggam tanganku erat, sambil mengajakku menjauh dari restoran. "Mau ke mana lagi?"

Aku melirik tanganku yang berada di dalam genggamannya, dan menangkupkan kedua tanganku di sana. This is something new for me. Berjalan berdua dengan pria di tempat umum seperti ini. Siapa saja bisa melihatku. Aku bahkan mendapati beberapa melirik ke arahku, tapi aku tidak peduli. Tidak ada gunanya main kucing-kucingan.

"Pulang?"

Aku mendesah keberatan. "Jalan-jalan aja, ke mana gitu."

Namanya juga tinggal di Jakarta, jalan-jalan pun paling di dalam mall seperti ini. Inilah yang membuatku merindukan London, dengan galeri seni yang bertebaran di setiap sudut, café-café lucu, public market yang nyaman, dan taman-tamannya. Pastinya, cuacanya yang menyenangkan walaupun selalu memberikan kesan muram.

"Jalan-jalan ke mana?"

Aku melirik Arsya. Dia tidak keberatan sekalipun aku menggayuti lengannya seperti ini. Sejak tadi, dia berusaha bersikap tenang, seolah-olah tidak ada apa-apa, padahal aku yakin sejak tadi dia pun menjadi sumber lirikan orang asing yang tidak kami kenal.

Bagaimana jika fotoku dan dia berakhir di akun gosip? Bagiku tidak masalah, karena aku tidak pernah mempedulikan omongan orang kurang kerjaan dan paling sok tahu di sana.

"Are you okay? Kalau kamu enggak nyaman, kita pulang aja," ujarku pelan.

Arsya menggeleng. "Tadi ada yang diam-diam memotret kamu."

"Kita," ralatku. "Kalau nanti foto itu sampai di akun gosip, aku bisa minta Inge buat membayarnya biar di-take down."

"Bayar?"

Aku mengangguk. "Kamu pikir, akun gosip itu dapat uang dari mana? Mereka bikin deal-dealan dengan subjek di foto. Kalau keberatan, silakan bayar uang tutup mulut." Aku mendengus kesal. Aku pernah menggelontorkan uang dalam jumlah lumayan agar fotoku saat mabuk tidak menyebar. Saat itu aku baru saja putus dan memilih untuk clubbing sampai teler. Tetap saja, walaupun sudah membungkam satu akun, foto itu tetap menyebar dan aku tidak menerima refund.

"It's okay for me. Paling diledek sama mahasiswaku. Kamu sendiri?"

"I don't care. Lagipula, apa yang perlu ditutupi?"

Senyum Arsya terasa menenangkan, membuatku tidak mengalami keraguan sedikitpun sekalipun fotoku mungkin akan menyebar di akun gosip, dengan narasi menyudutkan. Lalu bermunculan spekulasi soal hubunganku kali ini, mungkin ada yang bertaruh berapa lama hubungan ini akan bertahan.

Inge pernah mengusulkan untuk memberikan klarifikasi, tapi aku menolak. Percuma, aku hanya akan terlihat sebagai pecundang yang sedang membela diri sementara orang-orang itu hanya mau mempercayai apa yang ingin mereka percayai.

"Jadi, kamu mau ke mana?"

Aku memandang sekeliling. Saat menuruni eskalator, mataku menangkap store Topshop. Refleks, senyumku merekah. "Aku mau belanja. Sudah lama enggak belanja."

[COMPLETE] Philosophy of LoveOnde as histórias ganham vida. Descobre agora