Act. 55 The Last Piece

55.5K 5.8K 356
                                    

There's always a rainbow after the rain.

Beberapa bulan berjalan dengan sangat cepat, dari satu persidangan ke persidangan lainnya. Tidak mudah untuk mendapatkan keadilan, bahkan untuk pihak yang jelas-jelas sudah sangat dirugikan.

Sejak awal, aku sudah yakin tidak akan bisa mengambil kembali uangku yang sudah dicuri oleh Inge. Namun, sikapnya yang tetap tidak merasa bersalah, membuatku tidak ingin menyerah di tengah jalan. Bahkan, sampai ketuk palu menyatakan dirinya bersalah, Inge masih mempertahankan wajah angkuhnya. I want to embrace her and forgive her, but she never asked.

Pun dengan Pandu, meski untuk kasus ini aku sangat berterima kasih dengan banyaknya dukungan yang diberikan kepadaku. Aku tidak menyangka kasus ini akan berlarut-larut karena ada banyak rekanku yang akhirnya buka suara. Hal yang tadinya kukhawatirkan akan berbalik menyerangku, ternyata menjadi dorongan bagi teman-temanku yang selama ini memilih untuk bungkam.

Tanpa kusadari, tahun ini berlalu begitu saja hingga kini tinggal beberapa hari menjelang pergantian tahun.

"Everything's okay?"

Aku mendongak dari buku yang kubaca dan mendapati Arsya memasuki kamarku. Dia meletakkan ransel hitam miliknya di lantai sebelum menemuiku yang berada di window seat.

"I don't know. Dia keras kepala."

Arsya mengacak rambutku sebelum duduk di sampingku. Seketika, aku pun lupa akan cerita yang sedang kubaca. Buku itu terlepas dari tanganku saat aku beringsut mendekati Arsya dan merebahkan diriku di dadanya.

"Deep down, aku rela untuk menarik semua tuntutan itu kalau Inge mengakui kesalahannya. Entah apa yang membuatnya keras kepala seperti itu."

"It's her loss. Not yours." Arsya menepuk lenganku pelan.

Tidak mudah menghadapi dua tuntutan sekaligus, kalau saja aku sendirian. Arsya begitu banyak membantuku dalam melewati semua permasalahan itu. Dia selalu menemaniku setiap kali sidang, tidak peduli sebelumnya dia ada kelas pagi atau harus balik larut malam setelah persidangan yang panjang.

He's the rainbow after the rain.

"Apa?"

Aku menyengir lebar dan menggeleng. Menatap Arsya seperti ini terasa menyenangkan. Bahkan, sampai sekarang pun dia masih merasa jengah jika aku sudah menatapnya lekat-lekat dalam waktu lama seperti ini. Aku baru akan berhenti jika pipinya sudah memerah, karena itu sangat menggemaskan.

"By the way, next week is your birthday."

Arsya menghela napas panjang. Tahun lalu, ulang tahunnya terlewat begitu saja karena Mama dirawat di rumah sakit. Jangan harap tahun ini aku akan melewatkannya begitu saja, sekalipun dia terang-terangan menyatakan tidak menyukai ulang tahun.

"I like birthdays." Aku berseru, sebelum Arsya mengungkapkan keberatannya. "Usia baru, harapan baru."

Arsya hanya tertawa kecil menanggapi. "Jangan macam-macam," ancamnya.

Aku mencibir. "We'll see."

"Ran?" Arsya menatapku dengan mata menyipit, penuh curiga.

Arsya tidak perlu tahu kalau sudah sejak awal bulan ini aku merencanakan kejutan untuknya, tapi mendapatkan penolakan dari Asti dan Aline. Sepertinya Arsya benar-benar tidak menyukai ulang tahun. Asti membocorkan kalau dia pernah membuatkan kejutan, tapi malah menerima amukan dari Arsya. Sejak saat itu, Asti menyerah.

Asti tidak tahu apa yang membuat Arsya semarah itu.

Jujur saja, aku sempat ragu. Ada rasa khawatir kalau Arsya akan mengamuk, tapi aku juga tidak bisa melepaskan tantangan itu.

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now