Act. 14 Positive

47.5K 5.9K 239
                                    

Aku mengernyit, menahan sakit akibat berdiri terlalu lama memakai sepatu hak tinggi ini. Usia memang tidak pernah bisa bohong, karena sekarang aku jauh lebih menyukai sneakers yang nyaman ketimbang menyiksa diri dengan sepasang stiletto.

"Kamu kenapa?"

"Pegal," sahutku. Aku pun terpaksa menopang tubuhku dengan memegang lengan Arsya, agar tidak limbung.

Beruntung aku tidak perlu menyiksa diri lebih lama lagi. Setelah merasa cukup, aku memutuskan untuk kembali ke hotel. Sudah lewat tengah malam, dan semua kegiatan hari ini cukup menyita energiku.

Arsya merangkul pinggangku, tidak keberatan meski aku menjadikan tubuhnya sebagai sandaran. Padahal aku yakin dia sama lelahnya denganku. Mengajar sejak pagi, lalu menempuh perjalanan jauh ke Kuningan dan menemaniku sampai tengah malam. Ditambah, dia besok ada kelas pagi.

"Calista."

Aku berhenti dan berbalik ketika mendengar namaku dipanggil. Mataku menangkap sosok Alex melangkah dengan tegap menghampiriku. Dia masih rapi, sedikitpun tidak terlihat raut lelah di wajahnya. Pun dengan pakaiannya, masih rapi tanpa ada kusut sedikitpun.

Aku tidak tahu bagaimana caranya menjaga penampilannya.

"Mau balik?"

Aku mengangguk. Sejak tadi, aku hanya bicara basa basi dengan Alex. Bukannya sengaja menghindar. Namun, momennya tidak pernah pas. Lagipula, Alex tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk bersosialiasi. Siapa tahu ada partner bisnis yang memiliki prospek tinggi untuk didekati lebih lanjut.

Begitulah, bagi Alex acara seperti ini sangat wajib karena di sinilah dia menjaring relasi untuk kebutuhan bisnisnya.

"Mau bareng?"

Aku menahan diri untuk tidak memutar bola mata di hadapannya. Apa dia tidak melihat ada Arsya di sampingku?

Oh, tentu saja dia melihatnya. Alex sempat melirik tangan Arsya yang melingkari pinggangku dan menampakkan raut tidak suka.

"Aku bawa mobil. Kamu bisa bareng Inge."

Alex tampak gusar, sementara Inge menatapku dengan wajah tidak suka. Sementara aku hanya tersenyum menantang Inge.

She likes Alex. Aku yakin itu. Namun, aku masih tidak habis pikir mengapa dia malah sibuk mendekatkanku dengan Alex, bukannya mendekati Alex untuk dirinya sendiri.

Beruntung Irma datang sehingga aku pun berpamitan kepada Alex.

"Nih, Mbak." Irma menyodorkan paper bag kepadaku.

Aku membuka paper bag itu. Mataku langsung membola begitu melihat sneakers di dalamnya. Sneakers itu pun menjadi penyelamatku.

"Wow, inisiatif lo boleh juga," seruku sambil mengeluarkan sneakers itu dan meletakkannya di lantai. Aku mengangkat satu kaki, berusaha untuk membuka sepatuku.

"Mas Arsya yang nyuruh bawa, jaga-jaga kalau mbak pegal pakai heels," sahut Irma.

Refleks aku melirik Arsya, tapi dia sudah terlanjur membungkukkan tubuhnya. Tanpa berkata apa-apa, Arsya membantuku membuka sepatu, lalu memasangkan sneakers itu. Aku tidak bisa berkata apa-apa, hanya memegang pundaknya agar tidak terjatuh, sekaligus berusaha meredakan debaran jantungku.

Dia memang tidak banyak bicara, tapi setiap tindakannya selalu berhasil membuatku kehabisan kata-kata. Termasuk malam ini. Ide meminta Irma membawa sneakers itu membuatku luluh. Juga ketika dia tanpa ragu membantuku membuka sepatu, dan menjadi pusat perhatian orang yang lalu lalang.

Aku merasakan pipiku memerah. I feel so special. Diperlakukan secara spesial seperti ini, membuatku salah tingkah sekaligus ingin bersikap jumawa di hadapan orang-orang ini. Dalam diam, aku menikmati perhatian Arsya, sekaligus decak kagum beserta iri yang ditujukan kepadaku.

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now