Act. 9 Once We Start Kissing

52.6K 6K 219
                                    

Malam harinya, ketika aku sampai di rumah, aku tidak menemukan Arsya. Jujur saja, ada rasa kecewa yang muncul ketika aku tidak mendapatinya menungguku pulang. Namun, aku langsung mengusir perasaan itu jauh-jauh.

Aku menghampiri Papa di perpustakaan. Beliau nyaris tertidur saat sedang membaca buku, sampai-sampai kacamatanya melorot. Perlahan, aku mendekatinya. Berusaha untuk tidak berbuat keributan. Namun, Papa memiliki pendengaran yang sensitif sehingga langsung menyadari kehadiranku.

"Kenapa belum tidur, Pa?" tanyaku dan duduk di sebelahnya.

Papa membenahi letak kacamatanya dan menutup buku itu. "Sebentar lagi. Papa mau ngelarin baca ini dulu."

Aku hanya bisa menggelengkan kepala meningkahi sikap Papa. Sejak dulu, jika sedang mengerjakan sesuatu, Papa bisa lupa waktu. Mama sering menemuinya di perpustakaan ini dan mendapati Papa ketiduran di meja kerjanya. Aku yakin, kalau aku tidak menghampirinya, Papa pasti akan ketiduran di sini lagi.

"Bukunya sudah sejauh mana, Pa?"

"Rencananya rilis tahun ini, tapi Papa enggak yakin." Papa meletakkan buku yang tadi dibacanya di meja, dan kembali duduk bersandar di sofa di sebelahku. "Papa sudah enggak cekatan lagi."

"Ya, jangan dipaksain. Daripada nanti Papa sakit." Aku merebahkan kepalaku ke pundak Papa. Sekalipun Papa sudah tidak setegap dulu, rasanya masih nyaman bersandar di pundak Papa.

Sebagai anak perempuan satu-satunya, aku memang yang paling manja dibanding saudaraku. Bahkan jika dibanding Raka, adikku. Papa pernah berkata kalau aku yang paling membuatnya khawatir, apalagi di dunia pekerjaanku. Sehingga, membuatnya lebih protektif. Sampai aku lulus SMA, Mama selalu menemaniku jika ada pekerjaan. Sebelum ada Inge, Mama mendaulat dirinya sebagai manajerku, meski tidak pernah mengungkapkannya secara gamblang.

Pun ketika aku memutuskan untuk pindah ke London, mereka awalnya keberatan. Namun, aku menantang dan meyakini mereka kalau aku baik-baik saja. Berhubung masih ada keluarga Mama yang tinggal di London, mereka sedikit melunak. Dua tahun pertama, aku dipaksa tinggal di rumah sepupuku, agar ada yang mengawasiku.

Saat remaja, aku sempat berada di fase memberontak. Terlebih saat SMA dan pergaulanku yang bisa dibilang sedikit kebablasan. Aku sudah mengenal clubbing sejak SMA, diam-diam melakukannya di belakang orangtuaku walau akhirnya ketahuan. Mereka tahu akan sifatku yang tidak bisa dikekang, sehingga akhirnya memberikan penawaran—clubbing di bawah pengawasan Mas Rama.

Aku kesal, teman-temanku girang setengah mati. Apalagi aku sekolah di SMA khusus perempuan, sehingga teman-temanku jadi lebih beringas ketika melihat mas Rama.

Kalau dipikir-pikir, aku cukup menyusahkan saat remaja. Bukan hanya orangtuaku, tapi juga Mas Rama.

"Ada Arsya yang bantuin Papa. Kalau ada perlu penelitian atau apa, dia yang urus."

Refleks bibirku terkembang membentuk senyuman ketika mendengar ucapan Papa.

"Dia sering ke sini, ya?" pancingku.

Papa mengangguk. "Dia sudah sering membantu Papa untuk penelitian atau ada proyek, sejak dia masih kuliah. Makanya Papa percaya sama dia."

"Percaya buat bantuin Papa bikin buku?"

"Salah satunya. Dia baik, enggak pernah bikin masalah. Cuma agak pendiam."

Dalam hati, aku menyangsikan ucapan terakhir Papa. Pendiam sepertinya tidak cocok untuknya.

"Tadinya dia mau lanjut S3. Sudah diterima, tapi dibatalin. Entah apa alasannya," lanjut Papa.

"Di mana?"

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now