Act. 28 Rollercoaster

33.9K 5.2K 346
                                    

Kesibukanku mengetik di ponsel terganggu dengan kedatangan Inge. Aku berusaha menoleh semaksimal yang aku bisa, karena kepalaku tertahan oleh hair stylist yang sedang menata rambutku.

Inge menarik kursi ke dekatku. Tidak biasa-biasanya dia datang telat. Inge selalu memastikan setiap pekerjaan yang kuterima berjalan dengan lancar, karena itulah dia selalu datang lebih awal dibanding aku. Namun, hari ini dia membiarkanku datang lebih dulu bersama Irma. Alasannya karena ada urusan penting dengan ibunya.

"Kenapa lo?" tanyaku apa adanya.

Bukannya menjawab, Inge menatapku tajam. Wajahnya memerah, entah karena kepanasan atau sedang kesal. Sepertinya tebakan kedua jauh lebih masuk akal, kalau dilihat dari caranya menatapku.

"Maksud lo apa-apaan nyuruh Arsya ngurus keuangan lo? Lo udah enggak percaya sama gue?" cecar Inge.

"Oh," sahutku singkat. Semalam, Arsya memang meminta kontak Inge, untuk mengurus laporan keuanganku, seperti yang dijanjikannya. Aku tidak menyangka dia akan melakukannya secepat ini.

Sejak semalam, aku tidak bisa tenang. Takut dengan kemungkinan terburuk yang hanya akan mengecewakanku.

"Sejak kapan dia mulai mengurusi lo?" sembur Inge.

"Gue cuma pengin ngerapiin keuangan gue, dan dia bisa bantu. Berhubung dia lebih paham, jadi gue minta tolong buat mengecek." Aku menjawab datar.

"Nah, itu maksudnya apa? Lo udah enggak percaya sama gue?" cecarnya, dengan pertanyaan yang sama.

"Bukannya enggak percaya, gue cuma pengin ngerapiin aja. Biar gue enggak tekor kebanyakan belanja," sahutku setengah bercanda.

Namun, Inge tidak terpengaruh. Dia masih menatapku dengan wajah menahan kesal. Saat ini aku sedang di lokasi pemotretan iklan, sehingga Inge harus menjaga sikapnya agar tidak berbuat keributan.

"Gue enggak suka ada yang ikut campur kerjaan gue."

"Ikut campur gimana?" balasku sengit. "Ini enggak ada hubungannya sama lo. Arsya bantuin gue ya karena gue mau keuangan gue lebih rapi dan terdata. Lo tahu sendiri selama ini gue berantakan. Apa salahnya kalau gue mau bikin pembukuan sendiri?"

Inge mendengus. Jelas dia masih tidak terima dengan penjelasanku. Terang saja sikapnya membuatku jadi bertanya-tanya, kenapa dia malah keberatan? Seharusnya dia senang, karena ada Arsya yang lebih paham dan dia tidak perlu dipusingkan oleh ketidakbecusanku.

"Enggak ada yang berubah, Nge. Lo tetap kerja kayak biasa, tapi semua laporannya akan dicek sama Arsya. Enggak akan ngeganggu kerjaan lo juga." Aku melanjutkan.

Inge bersedekap, wajahnya yang keras menantangku. Dengan sebelah alis diangkat tinggi, Inge mendengus kesal.

"Gue merasa tersinggung. Kita bukan kenal kemarin sore. Kita udah kerja hampir sepuluh tahun, kita malah udah temenan lebih lama lagi. Terus tiba-tiba lo perlakuin gue kayak gini."

Kalau saja saat ini pergerakanku tidak terbatas karena sedang di-styling, aku sudah menghadap Inge dan menyuruhnya menghentikan semua drama yang tidak perlu ini. Namun, aku hanya bisa membalas tantangannya lewat pantulan di cermin.

"Enggak usah drama, Nge," tukasku. Aku harus menahan diri untuk tidak ikut terbawa emosi, dan bisa berpengaruh kepada suasana hatiku. Saat ini aku sedang bekerja, jadi harus bisa menahan diri demi hasil foto terbaik.

"Lo yang drama." Inge membalas ketus. "Baru juga pacaran sebentar, sudah berani-beraninya dia mengatur lo. You're not yourself."

Aku menggertakkan gigi, berusaha menahan diri untuk tidak menyerangnya.

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now