Act. 7 Stupid Kind of Love

42K 6.1K 334
                                    

Bola mataku mengikuti waitress yang datang membawakan pesanan. Air liurku menetes melihat deretan sushi di wadah panjang yang dibentuk seperti kereta api. Juga ketika wadah lucu berbentuk rumah diletakkan di atas meja, dan ketika dibuka, deretan sashimi membuat perutku langsung bergejolak.

"Itadakimasu," ujarku sambil mengambil chopstick. Aku mencomot salah satu sushi dan melahapnya. Lelehan mentai yang gurih membuatku bergidik bahagia.

Aku memang lemah dengan makanan enak.

Sementara itu, di hadapanku Arsya malah tertawa. Dia mengabaikan makanan enak di hadapannya, malah berpangku tangan sambil menatapku.

"Kamu enggak lapar?" tanyaku, kali ini siap menghadap sashimi yang segar.

Arsya masih tertawa, tapi kali ini sambil mengambil chopstick. "Kamu lucu."

Ini kedua kalinya dia melontarkan pujian yang sama. Namun, kali ini aku sudah bisa mengendalikan diri. Alih-alih tersipu malu dan salah tingkah, aku malah tertawa lebar di hadapannya.

"Sayangnya, cuma kamu yang berpikir aku lucu. Sutradara atau produser mikirnya aku galak, makanya sering dapat peran antagonis," cecarku.

"Galak?"

Aku menunjuk wajahku, membuat Arsya menatapku lekat-lekat. "Efek punya resting bitch face. Kalau lagi diam, dikiranya lagi marah. Makanya banyak yang suka salah paham."

"Wajahmu memang tegas, tapi kalau melihat tingkahmu, yang ada kamu malah menggemaskan, bukannya menakutkan." Arsya terkekeh.

"Thank you," ujarku dan melahap sushi berikutnya. "Melihat menu sushi yang ala Shinkansen ini bikin aku kangen Jepang. Liburan pertama ke luar negeriku ke Jepang, waktu SD. Papa ada konferensi gitu di Tokyo, jadi kita semua ikut."

Arsya mengambil sepotong sushi. Tadinya aku pikir dia akan memakan sushi itu, tapi ternyata malah menyodorkannya kepadaku. Aku pun menerima suapan itu dengan semu merah di pipiku.

"Selain Mama, kayaknya baru kamu yang nyuapin aku makan."

"Mantan pacarmu?"

Refleks aku mendengus sebal. "Boro-boro."

"Maksudku, mantan pacarmu yang lain, bukan yang mutusin kamu di London."

Aku meletakkan chopstick di meja dan bertopang dagu, pura-pura berpikir. "Mantan pacar pertamaku waktu SMP, sok cool biar dianggap keren sama anak SMP. Lalu, sisanya umumnya brengsek. Kalau enggak egois, ya terlalu cuek."

"And stupid."

Dahiku berkerut mendengar ucapannya. Pelan memang, tapi aku bisa mendengarnya dengan jelas.

"Bodoh, karena melepaskan kamu."

Senyum lebar terkembang di wajahku saat mendengar penjelasannya.

"Anggap saja kamu beruntung tidak perlu menghabiskan seumur hidup dengan laki-laki seperti itu."

Aku pun tertawa mendengar ucapannya. "I know I have bad taste. Makanya sekarang aku enggak mau buru-buru lagi. I think ini masa terlama aku enggak punya pacar. Turns out I enjoy it."

Dulu, jadi single merupakan momok menakutkan untukku. Karena itulah aku langsung mencari pria pengganti setelah putus, tanpa benar-benar memberikan kesempatan kepada hatiku untuk sembuh sepenuhnya. Seringkali pula aku mengambil keputusan yang gegabah, sehingga salah pilih dan akhirnya malah membuatku kembali sakit hati.

Aku pun menumpuk luka lama dengan luka baru.

Putus dari Nicho menjadi titik balik penting dalam hidupku. Mungkin, aku bisa menyebut Nicho sebagai salah satu pria yang sempat kupikirkan untuk kunikahi. Hal itulah yang membuatku sangat terpuruk ketika hubungan itu gagal. Luka lama yang belum sembuh, kembali bermunculan.

[COMPLETE] Philosophy of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang