Act. 44 My Pleasure

38.4K 5.4K 393
                                    

Arsya bergeming di balik setir, sementara aku perlahan berusaha menenangkan diri. Air mataku sudah kering, meski aku masih terisak. Dadaku masih terasa sesak, dan ingin rasanya mengkonfrontasi Inge, Marcella, atau siapa pun agar aku bisa melampiaskan semua sesak itu.

Namun, aku juga ingin mengkonfrontasi Arsya.

"Kenapa kamu diam aja?" semburku.

Arsya menyibak poni yang menutupi penglihatanku. Dia kembali mengusap air mataku, seperti yang dilakukannya sejak tadi.

"What should I do then?" Arsya balik bertanya, dengan ketenangan yang sangat berbanding terbalik denganku.

"Just ... ya balas omongan mereka."

"Apa pun pembelaan diri yang kuberikan, hanya akan membuatku terlihat semakin pathetic."

"No, you're not," timpalku.

Arsya memutar tubuhnya hingga sepenuhnya menghadap ke arahku. "Mereka berbeda denganmu. Mereka hanya mau percaya kepada apa yang mereka mau percaya. Saat ini, mereka percaya aku hanya some losers who wants to get your money. I'm not worth someone like you."

Aku menggeleng kencang. "Kamu enggak seperti itu."

"Itu yang kamu percaya. Aku enggak punya kewajiban untuk mendapat kepercayaan dari mereka. Aku hanya punya kewajiban untukmu dan keluargamu."

He's right. Namun tetap saja aku tidak sudi melihat orang yang aku sayang diinjak-injak seperti itu.

"Lagipula, mereka enggak sepenuhnya salah."

Aku menatap Arsya dengan mata menyipit, jelas tidak setuju dengan ucapannya.

"Dibanding Alex, aku memang bukan apa-apa. Aku bukan pengusaha kaya yang bisa membelikanmu kalung semahal itu. Aku cuma dosen dengan gaji enggak seberapa, untung-untung dapat proyek buat tambahan." Arsya terkekeh. "Kalau mereka mempertanyakan kesungguhanku sama kamu, aku baru marah."

Perlahan, bibirku bergerak membentuk senyuman. Sesak yang sejak tadi menguasaiku perlahan mulai hilang.

"Tetap aja aku enggak terima."

Arsya meraihku ke dalam pelukannya. "Isi pikiran mereka, itu bukan urusan kita."

Easier said than done. Siapa pun memang tidak bisa mengontrol isi pemikiran orang lain. Aku tidak bisa mengontrol apa yang dipikirkan Marcella soal Arsya, atau Inge yang tidak bisa menyukai Arsya. Masih ada bagian di dalam diriku yang membuatku ingin diterima semua orang, sehingga sulit untuk mengenyahkan tudingan Marcella.

Namun, Arsya benar. Orangtuaku tidak pernah mempermasalahkan hubunganku dengan Arsya, mengapa harus mikirin omongan orang?

Aku melepaskan diriku dari pelukannya. Air mataku sudah sepenuhnya kering. Namun, saat nanti bertemu Inge atau Marcella lagi, aku yakin tidak akan bisa menahan diri.

"Love you," bisikku sambil mencium Arsya.

"I love you too." Arsya balas berbisik, dan bisikan itu sukses mengenyahkan rasa sesak di dadaku.

"Let's go home," ujarku.

Aku tidak tahu berapa lama waktu yang kuhabiskan dengan menangis di parkiran, karena sekarang sudah hampir tengah malam. Beberapa menit lagi, aku resmi memasuki usia baru.

Masih ada satu hal lagi yang mengganjal pikiranku. Tuduhan Inge.

Aku melirik Arsya yang tengah berkonsentrasi kepada jalanan di hadapannya. "Sebelum bertemu aku, kamu pernah kenal Inge?"

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now