Act. 52 Rough Night

38.1K 5.8K 434
                                    

Aku masih berada di dalam mobil, meskipun saat ini sudah sampai di rumah. Pandangan mataku tertuju ke balik jendela. Tidak ada siapa-siapa yang kulihat, tapi aku yakin di dalam sana ada kedua orangtuaku dan mereka akan langsung freak out begitu aku muncul dalam keadaan babak belur seperti ini.

Percuma saja memperbaiki penampilanku, robekan rok itu melintang hingga ke paha sehingga tidak bisa diperbaiki. Aku merapatkan atasan yang kupakai, berusaha meluruskan kain yang kusut akibat Pandu yang memaksa untuk membukanya.

That bastard.

Arsya menyodorkan jaket yang dipakainya. Aku membiarkannya, tidak langsung menerimanya. Alih-alih, aku malah menatapnya. Setelah bisa menguasai diri, ini kali pertama aku benar-benar memerhatikannya.

Dia tidak bicara apa-apa. Namun, matanya memberitahu lebih banyak dibanding yang tidak diucapkannya. Dia tidak bisa menghalau khawatir yang saat ini terlihat jelas di wajahnya.

"Kenapa kamu ada di sana?" tanyaku.

Arsya tidak menjawab. Dia malah memakaikan jaket itu, sebuah upaya yang sia-sia untuk menyelamatkan penampilanku.

Aku bergeming, terus menatapnya. Dalam hati aku bertekad tidak akan beranjak sebelum mendapat jawaban.

"I was there. Ketemu teman."

"Maksudku, di parkiran."

Kehadirannya begitu mendadak, sampai-sampai aku merasa ini hanya bayanganku saja.

"Aku ngikutin kamu. Aku cuma mau mastiin kamu enggak nyasar, karena kamu suka lupa parkir di mana."

Aku menatapnya dengan dahi berkerut.

"And then?"

"Kamu enggak lewat-lewat. Aku pikir kamu cuma lupa parkir di mana."

"Parkiran itu luas, gimana kamu bisa langsung nemuin aku?" cecarku.

"Irma."

Aku mendengus. "Irma?"

Arsya tidak menjawab. Dia membuka seatbelt sebelum memutar tubuhnya hingga sepenuhnya menghadapku.

"Sebagai seseorang yang mutusin aku, kamu masih terlalu involve dalam hidupku."

Aku tidak mengerti. Dia yang memutuskanku, bahkan tidak memberikan penjelasan untukku. Aku masih ingat setiap kata-katanya dengan jelas. Namun, aku tidak menyangka dia masih ada di hidupku tanpa kusadari.

"Apa tujuanmu memutuskanku sebenarnya?"

Arsya tidak menjawab. Dia pun terlihat sengaja menghindar dengan berpura-pura membuka seatbelt yang kupakai dan membenarkan letak jaketnya.

"Aku antar ke dalam. Orangtuamu butuh penjelasan."

Aku melayangkan tatapan tajam kepadanya. "Setelah itu? Kamu akan ninggalin aku lagi?"

Arsya menunduk, sengaja membuang muka dan tidak membalas tatapanku sehingga aku tidak bisa membaca air mukanya. Aku tidak bisa menerima situasi ini. Dia meninggalkanku, dan sekarang dia muncul sebagai pelindung. Masih sulit untuk menerima kenyataan dia tidak ada lagi di hidupku, aku tidak yakin apakah masih sanggup menerima kenyataan kalau setelah ini, dia memutuskan untuk pergi lagi.

Arsya mendahuluiku keluar dari mobil. Aku hanya bisa mengikuti setiap gerakannya memutari mobil hingga tiba di sampingku, dan membukakan pintu untukku. Dia membantuku, dan satu-satunya yang ingin kulakukan adalah menepis tangannya.

Namun, hatiku berkata lain. Aku malah memeluknya.

"I'm scared," isakku.

Perlahan, aku merasakan Arsya membalas pelukanku. Dia mengusap punggungku, mencoba menenangkanku.

[COMPLETE] Philosophy of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang