Act. 47 Goodbye

28.8K 4.9K 259
                                    

"Kamu di mana?"

Aku menatap pesan yang kukirimkan tadi pagi, sebelum berangkat ke lokasi syuting. Ini hari terakhir, dan cukup padat karena ada syukuran setelah semua proses syuting selesai. Karena itulah, aku tidak terlalu sering mengecek ponsel.

Namun, sampai aku tiba kembali di rumah hanya selang beberapa jam sebelum pergantian hari, aku masih belum menerima balasan dari Arsya.

Ini tidak seperti biasanya. Aku memang tidak menuntut Arsya untuk segera membalas setiap pesanku. Namun, dia juga tidak pernah membiarkanku tanpa kabar seperti ini.

Sambil mengatur posisi duduk di window seat, aku mencoba menghubunginya.

Sejak kembali dari Yogya, aku merasa ada yang berubah darinya. Arsya terasa semakin jauh, seolah ada yang disembunyikannya. Fisiknya boleh saja berada di dekatku, tapi tidak dengan pikirannya. Aku sering mendapatinya tidak fokus, seolah sedang tenggelam dalam pemikirannya sendiri. Tidak jarang aku memintanya, tapi Arsya selalu enggan.

"Rani."

Aku hampir melompat kaget saat mendengar sapaan itu, nyaris di saat aku hampir putus asa. Suaranya terdengar pelan, juga lelah.

"Kamu baru pulang?"

Arsya mendengung pelan, lalu samar aku mendengar bunyi pintu dibuka.

"Tumben. Kamu dari mana?" tanyaku.

"Bandung."

Aku mengangguk paham, tapi detik selanjutnya, aku kembali khawatir untuk hal lain. "Mama baik-baik aja, kan?"

Kalau Arsya tidak bisa dihubungi sepanjang hari, dan dia ada di Bandung, aku langsung terpikir Mama.

"Baik," sahutnya singkat.

"Are you okay?"

"Yes, cuma .... Aku capek aja."

Aku menggigit jari, sebagai upaya untuk menahan diri agar tidak meluapkan pertanyaan yang bercokol di kepalaku sepanjang hari ini.

"Ada urusan apa di Bandung?"

Beragam kemungkinan bermain liar di benakku, tapi bermuara pada satu sosok. Pasti soal pembicaraannya dengan Pak De yang tidak sengaja kudengar saat di Yogya. Sampai saat ini, Arsya masih tutup mulut.

"Nothing."

Aku mendengus, jelas meyakini bahwa dia berbohong.

"Are you sure?" desakku. "Well, you know..."

"I'm fine," potongnya tegas. "Aku baik-baik saja, Ran."

Aku menutup mata dan menghela napas panjang. "No, you're not."

"Well, aku lebih tahu keadaanku. Apa kamu punya tujuan lain untuk meneleponku atau sekadar omong kosong ini saja?"

Selama beberapa detik, aku terdiam. Semua hal yang tadi ingin kuucapkan, mendadak lenyap, meninggalkanku seperti patung yang membisu. Ini kali pertama Arsya berbicara dengan nada ketus dan tinggi seperti ini.

Pertanyaan itu semakin meyakinkanku kalau dia sedang menyembunyikan sesuatu. Alih-alih menerima niat baikku, dia malah menjadikanku sebagai pelampiasan dari kekesalannya.

"Aku nanya baik-baik, kenapa kamu malah ketus?"

"Kamu terlalu mendesak."

Jawaban singkat itu membuatku ikut tersulut emosi. "Oke, maaf kalau aku mendesak. Aku cuma nawarin diri buat tempat kamu cerita, apa salah?"

"Ran, sorry. Aku enggak bermaksud ... I just ..." Arsya menghela napas panjang, tidak melanjutkan ucapannya.

"Setidaknya kamu berterima kasih karena aku masih peduli padamu."

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now