Act. 31 Sexy Lecturer

41.8K 5.4K 301
                                    

"Pagi, Sayang."

Arsya menoleh dari balik pundaknya, ketika aku memeluknya dari belakang. Dia tengah memasak sarapan ketika aku menghampirinya di dapur setelah bersiap-siap menuju ke kampusnya.

"Kamu tunggu di meja makan, sebentar lagi selesai."

Alih-alih mengikuti perkatannya, aku malah berdiri di sampingnya. Semalam, tidurku tidak nyenyak. Lama aku terbangun, meskipun harus pura-pura tidur. Walaupun Arsya sudah kembali tenang, giliranku yang jadi banyak pikiran.

Sampai pagi ini, aku masih belum mendapat jawaban. Namun, aku menelan semua pertanyaan itu seorang diri.

Arsya bersikap biasa. Tidak ada sisa-sisa tangisannya.

Sambil meneliti wajahnya, beragam skenario bermunculan di otakku. Pastinya beban itu sangat berat, sampai-sampai dia tidak bisa mengendalikan diri.

"Ada apa, Ran?" Arsya menatapku. Jujur saja, dia terlihat menggemaskan saat memakai celemek untuk melindungi pakaiannya dari cipratan minyak.

"Kamu belum bayar utang."

Tubuhnya menegang, dengan wajah yang mendadak serius. "Maksudmu?"

Aku mengulurkan tangan. "My morning kiss."

Ekspresi lega terpancar di wajahnya setelah mendengar jawabanku. Arsya melangkah mendekatiku. Dengan merangkul pinggangku, dia mempersempit jarak di antara kami.

"Good morning, Rani." Arsya berbisik pelan dan mengecup bibirku lembut. "Again?"

Dengan cengiran lebar, aku mengangguk.

Arsya menarikku agar kian dekat dengannya. Dia melingkarkan tangannya di sekeliling pinggangku. Bibirnya memagutku, membuaiku dengan ciumannya yang dalam dan lembut.

"Alright, it's time to breakfast." Arsya melepaskan ciumannya, dengan gigitan pelan di bibirku.

Dia melepaskan pelukannya dan kembali berkutat dengan sarapan. Omelet itu refleks membuat perutku berbunyi.

Aku mendahului Arsya menuju meja makan. Di meja, sudah ada secangkir latte untukku, juga kopi hitam tanpa gula untuknya.

Arsya meletakkan piring berisi omelet di hadapanku. Sebelum dia pergi, aku menarik tangannya ke arahku. Aku mengapit kakinya dengan pahaku, dan merangkul pinggangnya.

"Do you love me?" tanyaku. Leherku terasa pegal karena harus mendongak untuk menatapnya.

Perlahan, Arsya mengangguk.

"Say it," desakku. Aku ingin dia mencurahkan perasaannya di hadapanku, tidak lewat pesan singkat, atau sembunyi-smebunyi seperti semalam.

Arsya menatapku tepat di kedua bola mataku.

"I know, tindakanmu sudah lebih dari cukup untuk memberitahuku. Namun, aku mau mendengarnya langsung."

Arsya menarikan telunjuknya di pipiku. Senyumannya terasa hangat, memunculkan kerutan di sudut matanya.

"Aku sayang kamu, Rani. Aku cinta kamu. I really do." Arsya membungkuk untuk mengecup keningku. "Sepertinya kamu harus berhenti berharap aku akan bilang cinta setiap hari. I can't but I will show you."

Aku mengangguk. Aku tidak butuh kata-kata, tapi mendengarnya satu kali saja sudah cukup.

"Yuk, sarapan. Setelah itu kita berangkat."

Aku melonggarkan kakiku yang mengapit Arsya, sehingga dia bisa menuju ke kursi kosong di sampingku.

"Siap, Pak Arsya."

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now