Act.11 An Invitation

43.6K 5.8K 235
                                    

Ketika Alex membelokkan mobilnya memasuki halaman rumah, aku melihat pintu depan terbuka. Tidak lama, sosok Arsya keluar dari dalam rumah diikuti oleh Papa.

Refleks, senyumku terkembang begitu melihatnya.

"Thanks, ya, tumpangannya." Aku membuka seatbelt. Saat menghadap Alex, aku terheran karena dia juga membuka seatbelt. "Mau ikut turun?"

Alex menunjuk ke teras rumahku. "Ada papamu. Enggak enak kalau aku langsung pergi."

Tanpa menunggu bantahanku, Alex sudah membuka pintu mobil. Buru-buru aku mengikutinya, dan mendahuluinya menuju teras.

Alex tidak begitu mengenal Papa. Dia hanya beberapa kali bertemu Papa, sehingga aku tidak punya dorongan untuk mengajaknya turun malam ini.

Aku tidak melepaskan pandanganku dari Arsya. Dia melirikku sekilas, lalu beralih ke sosok yang ada di belakangku. Cahaya lampu teras yang temaram tidak membantuku untuk melihat ekspresinya dengan jelas.

Tentu saja, dia yang menjadi alasanku keberatan Alex ikut turun dan menemui Papa.

"Hi, Sya," sapaku begitu sampai di dekat mereka.

Arsya mengalihkan tatapannya dari Alex, dan tersenyum kepadaku. Meski sudah sedekat ini, aku masih belum bisa membaca raut mukanya. Wajahnya terlihat datar, tanpa gejolak apa-apa.

Dalam hati, aku mengutuk diriku sendiri. Mengapa aku begitu berharap Arsya menunjukkan emosi yang berbeda ketika melihatku dengan Alex?

"Malam, Om." Alex menghampiri Papa dan menyalaminya. "Apa kabar, Om?"

"Baik. Terima kasih sudah mengantar Calista."

Berbeda dengan Arsya, aku justru dengan mudah membaca ekspresi Alex. Dia terang-terangan menatap Arsya. Ada sekelebat rasa tidak suka tergambar di wajahnya, meski dia langsung menguasai dirinya.

Aku menatap Arsya dan Alex berganti-gantian. Kini, malah aku yang merasa gelisah. Rasanya ingin menyuruh Alex untuk cepat-cepat pergi, tapi aku masih ingin menjaga sopan santun.

Entah karena Alex merasa tidak nyaman dengan kehadiran Arsya, atau menyadari kehadirannya tidak begitu aku terima, akhirnya dia pun berpamitan. Aku tidak mencegahnya, malah merasa lega ketika akhirnya dia kembali menuju mobilnya.

Note to myself, aku harus mengurangi intensitas bertemu Alex. Urusan pekerjaan, masih bisa ditolerir, tapi di luar itu, sepertinya aku harus menarik garis batas yang jelas.

Walaupun, yang jadi masalah utama adalah Inge.

"Nih, yang dari tadi kamu tanyain."

Aku mengalihkan tatapan kepada Papa yang sedang terkekeh, sementara Arsya hanya menunduk.

Wait, apa aku tidak salah lihat? Dia tersipu mendengar ledekan Papa.

Papa menepuk pundakku pelan, lalu berlalu ke dalam rumah. Meninggalkanku berdua dengan Arsya di teras.

"Kamu nyariin aku?" tembakku.

"Aku enggak lihat kamu, padahal aku sudah di sini sejak siang," jawabnya.

"Semalam, kenapa enggak bilang kalau mau ke sini?"

"Dadakan. Semalam belum punya rencana, tapi tadi pagi Papa kamu nelepon, minta aku ke sini," sahutnya.

"Kalau tahu kamu di sini, aku bisa pulang lebih cepat."

Arsya tertawa pelan. "Gimana kerjaanmu? Lancar?"

Aku mengangguk cepat. Aku sudah membuka mulut, tapi urung begitu melihat Arsya fokus pada ponselnya.

"Kamu sudah mau pulang?"

[COMPLETE] Philosophy of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang