Act. 15 Have It Away

66.5K 5.6K 329
                                    

PS: Dari judulnya sudah tahulah ya inti chapter ini, he-he. This is the first time I write it very detail and slow. So, if you don't comfortable with it, let's skip it.

**

Meski memaksakan untuk tidur, nyatanya aku malah merasa kesulitan. Walaupun tubuhku meronta karena lelah, dan merasa mengantuk, aku malah tidak bisa tidur.

Aku membuka mata dan mendapati Arsya masih menatapku. Satu tangannya masih berada di rambutku, meski sudah berhenti membelaiku.

"Kenapa?"

"Selalu enggak bisa tidur kalau lagi capek banget," keluhku. "Kamu kenapa enggak tidur?"

Arsya tersenyum. "Because I can't close my eyes while you're in front of me."

Aku memukul dadanya pelan, meski tidak urung aku tersipu dengan gombalannya itu. Rasanya seperti kembali ke masa remaja, selalu dibuat tersipu oleh tindakan kecil yang dilakukan oleh gebetanku.

Wait, aku boleh menyebut Arsya sebagai gebetanku, kan?

Malu sama umur, Rani!

Arsya melepaskan tangannya dari rambutku, lalu menangkap tanganku dan meremasnya. "Sayangnya aku enggak bisa nyanyiin lullaby biar kamu bisa tidur. Mungkin kita bisa memutar musik untuk membuatmu rileks."

Arsya memutar tubuhnya dan meraih ponsel. Tidak lama, lantunan piano yang lembut mengalun memenuhi kamar itu. Dia kembali berbaring menyamping dan menghadapku. Seperti tadi, Arsya kembali membelai rambutku.

Kali ini, aku mencoba untuk tidur. Namun, lantunan piano itu sama sekali tidak mengganggu. Sekalipun pencahayaan temaram di kamar ini sudah cukup untuk membuatku bisa terlelap, nyatanya aku kembali membuka mata.

Aku tersentak ketika mendapati jarak wajah Arsya yang sangat dekat denganku. Aku bahkan bisa merasakan embusan napasnya.

Debaran di hatiku kian menjadi-jadi. Terlebih ketika aku melihat matanya, dan menemukan kilat keraguan di sana.

Apakah dia juga menginginkanku seperti aku yang menginginkannya?

Aku menelan ludah, tanpa mengalihkan tatapan dari Arsya. Namun, dia hanya diam. Membuatku semakin kelimpungan.

Dia hanya perlu mengambil langkah awal. Namun, aku menangkap keraguan itu di matanya.

Aku menghela napas panjang dan mempersempit jarak di antara kami. Untuk ke sekian kalinya, aku yang mengambil first move.

Perlahan, aku mengecup bibirnya. Hanya ciuman singkat, untuk memberitahunya bahwa aku menginginkannya.

Arsya tersenyum lembut. "Sepertinya kamu beneran enggak bisa tidur," godanya.

"I think so," sahutku.

Sekali lagi, aku mengecup bibirnya. Kali ini, aku sengaja berlama-lama di sana. Namun, ketika aku melepaskan ciuman itu dan menjauhkan wajahku, aku merasa ada yang menahan bagian belakang kepalaku.

Kilat di mata Arsya sudah berubah. Tidak ada lagi keraguan di sana.

Arsya mendorong kepalaku hingga aku kembali menciumnya. Kali ini, dia yang memegang kendali. Arsya memagut bibirku, melesakkan lidahnya hingga berpagut dengan lidahku.

Debaran di dadaku kian kencang, bersamaan dengan darahku yang berdesir hebat.

Dalam sekali sentakan, Arsya mendorongku hingga terbaring. Tanpa membuang waktu, dia memerangkap tubuhku. Arsya menjadikan sikunya sebagai tumpuan agar tidak menindihku, sementara bibirnya masih melumatku tanpa jeda.

[COMPLETE] Philosophy of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang