Act. 26 More Than You Know

37.7K 5.4K 396
                                    

"Jadi, berapa persen?"

Alih-alih menjawabnya, aku hanya mencibir. Namun, Arsya masih menatapku dengan wajah jail dan pura-pura seriusnya.

"Mungkin bisa kamu elaborasi lebih detail, termasuk variabel pendukungnya."

Refleks, tawaku tersembur mendengar ucapannya. "Kamu pikir aku mahasiswamu?"

Arsya hanya mengangkat bahu sekilas. Tatapan jailnya itu membuatku merasa tertantang untuk mengikuti permainannya.

"Well, 25% karena kamu baik. Walaupun kata orang pria baik-baik itu membosankan, tapi kamu punya tantangan tersendiri. Lalu, 25% lainnya karena kamu apa adanya. Aku sudah muak dengan pria yang pretend to be someone else untuk mencitrakan dirinya di mataku. Apa adanya kamu membuatku nyaman. Terus, 40% karena kamu manis. Senyummu manis dan caramu memperlakukanku manis banget, I feel like I'm special. Sisanya 10% karena kamu ganteng." Aku tersenyum lebar.

Masih mempertahankan wajah pura-pura seriusnya, Arsya hanya menganggukkan kepalanya.

"By the way, you still leave me hanging. Soal pertanyaanku semalam. No, I mean, pernyataanku." Aku mendesaknya, mengingatkannya akan pernyataanku yang tidak mendapat jawaban apa-apa darinya.

Arsya hanya tersenyum ketika aku memberitahu keinginanku. Raut wajahnya tidak bisa kubaca. Aku pun membiarkan pernyataanku menggantung begitu saja.

Entah apa yang membuatku melakukannya. Sandra benar, aku tidak terbiasa menunjukkan perasaanku secara gamblang. Namun, semuanya berubah di hadapan Arsya. Selalu aku yang memulai, karena aku yakin dia tidak akan melakukan apa-apa.

Sedikitpun aku tidak menyesal mengambil first move.

"Bagaimana dengan variabel pendukungnya?"

Aku mendecak sebal. Dia masih mengelak, tapi setidaknya raut wajahnya tidak semembingungkan semalam. Dia hanya ingin mempermainkanku.

Aku menelengkan kepala, menatapnya sambil mengulum senyum. "Variabel pendukung?" Aku tertawa singkat.

Arsya mengangkat sebelah alisnya, menantangku tanpa suara.

Aku memajukan wajah dan menciumnya. Bukan kecupan singkat seperti yang pertama kali kulakukan di pinggir kolam beberapa bulan lalu. Aku menangkup wajahnya dengan kedua tanganku, dan mengangkat tubuhku untuk duduk di pangkuannya. Arsya membuka bibirnya, dan menyambut pagutan lidahku.

"Itu variabel pertama," bisikku setelah melepaskan ciumanku.

"Make sense. Lalu?"

Lirikan matanya yang mengarah ke dadaku membuatku mengerti apa yang dia maksud. Aku meraih ujung camisole yang kupakai dan mengangkatnya hingga meloloskannya melewati kepalaku, meninggalkanku bertelanjang dada di hadapannya.

Aku meraih kedua tangannya dan mengarahkannya ke payudaraku. "Variabel kedua," bisikku.

Arsya tertawa sambil menganggukkan kepalanya. Tangannya masih bertahan di sana, sekalipun aku sudah melepaskan peganganku. Perlahan, dia meremas payudaraku. Terkadang terasa lembut, tapi kadang dia mengagetkanku dengan remasannya yang keras.

Bagaimana mungkin aku bisa menahan diri di hadapannya, karena dia selalu tahu caranya membuaiku.

Arsya melepaskanku, sebagai gantinya dia merangkul pinggangku dan menarikku ke pelukannya. Kedua tangannya melingkari tubuhku dengan sangat protektif, membuatku merasa aman saat bersamanya.

Aku meraih wajahnya dan menariknya untuk menatapku. "Jadi?"

"Jadi apa?"

"Aku mau jadi pacar kamu."

[COMPLETE] Philosophy of LoveWhere stories live. Discover now