53 | kisikan

24 10 0
                                    

| 20:00 |

Benang yang menghubungkan keduanya memendek. Yeonjun dan Hueningkai baru menyadarinya saat pagi, ketika salah satunya akan pergi ke kamar mandi duluan. Jarak benang hanya tersisa sekitar tiga meter.

Itu berarti, mereka seharusnya tidak bisa ke sekolah. Jarak antara kelas Yeonjun dan Kai bisa lebih dari tiga meter. Tidak mungkin juga Kai memasuki kelas Yeonjun, ataupun sebaliknya. Jadilah mereka sepakat, untuk membolos seluruh mata pelajaran. Tetapi, sepertinya menghadiri kelas latihan untuk kontes Kai tidak buruk.

Dan di sinilah mereka, duduk di hadapan Jisung dan Chaerin dibatasi oleh meja kecil di tengah. Pak Junho yang ada di sisi lain meja, tampak bingung sama seperti dua anak muridnya. Mengapa ada tamu tak diundang? pikir mereka.

"Oh, maaf. Yeonjun mau ikut saya karena dia tidak bisa pulang sendiri kali ini. Makanya dia akan ikut di kelas ini juga. Tidak apa-apa, kan?" Hueningkai mencoba untuk berbicara sesopan mungkin.

Yeonjun yang sedang menatap rak buku pun sontak ikut menoleh dan mengangguk. "Saya minta izinnya."

Pak Junho memasang pose berpikir. "Apa Yeonjun pintar bahasa Inggris? Bapak lupa."

Cowok yang ditanya pun menggeleng. "E-enggak, Pak. Saya gak ada minat kalau Bapak mau nyuruh saya ikutan juga."

Akhirnya menyerah, Pak Junho pun memutus percakapan. Lagipula kelas ini kelas terbuka. Siapa pun boleh ikut melihat, bergabung, atau sekadar mencoba saja. Bahasa ringannya, kelas bebas.

Bahasan kelas mulai membosankan. Yeonjun tak mengerti dengan apa yang dibicarakan anak murid khusus Pak Junho itu. Untuk mengusir rasa jenuh, cowok berkaki panjang itu menyusuri rak buku yang ada di sekelilingnya. Sesekali melirik ke arah Kai, takut kalau-kalau anak itu akan berpindah tempat.

Sementara itu, Jisung yang tak fokus mengikuti pelajaran, menumpu wajah dengan satu tangan dan menatap Yeonjun. Berapa kali juga ia memastikan, Jisung tetap yakin kalau ada yang menyembul di balik rambut Yeonjun.

"Ck, Yeonjun. Ceroboh banget. Kan kalo gini gue bisa manfaatin itu buat ngelakuin yang aneh-aneh." Jisung bergumam kecil. Kerutan di antara kedua alisnya muncul.

Chaerin yang berada di sebelahnya, melirik risi. Sudah beberapa kali ini ia mendapati Jisung bertingkah aneh. Menatap Yeonjun ataupun Kai, lalu bicara yang aneh-aneh. Tidak biasanya sahabat karibnya itu berlaku seperti ini.

"Sir, excuse me. Saya dan Jisung izin beli minum boleh nggak ya, Pak?"

Jisung langsung mengangkat kepala dan menatap Chaerin dengan tatapan bertanya. Tapi setelah Pak Junho membolehkan, Chaerin membalas tatapan Jisung seakan bilang, "Ayo!"

Setelah agak jauh dari ruang perpustakaan, Chaerin berhenti. Berbalik badan dan menatap Jisung yang amat kebingungan saat ini. "Gue harap lo ga tersinggung sama pertanyaan gue." Jisung makin mengernyit mendengar itu. "Tapi, lo udah periksa ke psikiater?"

"For what??? Gue ga papa padahal."

Chaerin menghela napas lega. Syukurlah kalau sahabatnya bilang begitu. "Gue cuma ngerasa aneh sama lo akhir-akhir ini. Ga sekali gue denger omongan yang aneh-aneh dari lo. Kayak tadi, pas lo diem-diem ngeliatin Yeonjun."

Sontak saja cowok berbadan semampai itu salah tingkah. Rahasianya sudah diketahui oleh sahabatnya sendiri. Ia benar-benar merasa malu dan jahat.

"Kalo lo ada masalah, bilang aja ke gue. Gak biasanya ah lo mendam masalah gini." Chaerin tertawa. Menepuk-nepuk bahu kiri Jisung dan pergi begitu saja menuju kantin.

"Tunggu! Chae, ada... yang mau gue omongin."

***

Tuk!

"Hm? Oh, makasih, Chaerin." Hueningkai menarik botol minuman yang barusan diberi oleh teman perempuannya itu.

Chaerin tersenyum sebagai balasan. Ia berdiri tegak dan menatap Yeonjun yang masih asyik berkeliaran ke sekeliling rak buku. "Choi Yeonjun, sini!"

Merasa terpanggil, cowok berambut kuning pucat itu mendekat dan ikut duduk. "Oh buat gue? Makasih." Yeonjun mengucapkannya dengan nada dingin.

Tapi, bukan itulah yang Chaerin perhatikan. Cewek itu memanggil Yeonjun, karena... ia ingin lihat. Apa tanduk yang dibilang Jisung beneran ada?

***

Sudah setengah jam berlalu setelah waktu sekolah selesai. Mereka sekarang sedang merebahkan diri di markas sebelum kembali pulang ke rumah. Rasanya, markas lebih sepi berkali-kali lipat saat ini. Tak ada keributan, apalagi canda tawa. Semua rasanya berubah setelah tiga di antara mereka telah berpulang duluan.

"Tenggat waktu misi pertama bakal habis empat hari lagi." Begitu kata Yeonjun. Pikirannya menerawang sampai ke langit-langit.

Kai membangunkan diri. "Lo ga ada niatan buat balik ke apartemen lo, Jun?"

Seperti Kai tidak tahu saja. Bukannya ia sudah lihat sendiri, kalau Yeonjun dan ayahnya telah dibuang? "Gue ga mau ke sana lagi. Gue ga mau pingsan lagi."

"Tapi, lo belom ketemu ibu lo! Kalo lo ngelanggar, gue juga ikut kena."

Yeonjun sudah muak mendengarnya. Badannya berbalik menghadap dinding markas. Malas menatap Kai. "Cih."

"Jangan-jangan, lo lupa, siapa yang duluan maksa buat ngejalanin misi ini?" Kai berdiri dari ranjangnya, berjalan menuju ranjang paling dekat dengan pintu masuk. Dilihatnya Yeonjun dengan meringkuk dengan posisi berlawanan dengannya. "Please, Yeonjun. Ini demi kebaikan lo juga!"

Setelah menimbang-nimbang, Yeonjun akhirnya mau menatap Kai. Meski dalam keadaan rebahan. "Kalo gue laksanain misinya, apa lo mau maafin semua kesalahan gue?"








***

hayolo, kai mau iya-in pertanyaan yeonjun ga?
terus, chaerin diomongin apa tuh sama jisung?

20:00 [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang