5

27.8K 4.1K 46
                                    

Rembulan bersinar terang tatkala awan tak lagi menutupinya. Cahayanya yang terang masuk di sela-sela jendela sebuah ruangan dimana seorang perempuan sedang terlelap di atas ranjangnya.

Kerutan samar nampak di keningnya, pertanda bahwa ia telah terbangun dari tidurnya. Kelopak matanya terbuka perlahan lalu pandangannya pertamakali menangkap langit-langit kamar. Ia menoleh kiri kanan untuk melihat ruangan itu secara menyeluruh. Ia sontak terduduk dari tidurnya. "Dimana ini?" monolognya yang masih memandangi sekitar "Apa aku sudah tiba di kerjaan Vantiago?"

Tidak berselang lama, pintu kamar terbuka. Seorang perempuan muda dengan pakaian pelayan, masuk lalu menghampiri Azura. "Anda sudah bangun rupanya," ucapnya.

Azura menatap takut pelayan itu. "I-iya. Ini dimana?"

Pelayan itu tersenyum. "Ini kastil rose, tempat Anda akan tinggal selama berada di kerajaan Vantiago," ucapnya sopan namun terdengar angkuh.

Azura mengedarkan pandangannya. Kamar yang ia tempati cukup besar, lebih besar dari kamarnya di Alley. Namun tempat ini nampak tidak terawat. Debu terlihat begitu jelas saking tebalnya. Kain alas ranjang dan selimut yang ia gunakan berbordir mewah, namun nampak lusuh dan menguarkan bau tak sedap.

"Saya datang kesini untuk memastikan keadaan Anda. Karena Anda sudah sadar, saya akan kembali," ucap pelayan itu lalu berbalik tanpa menunduk seperti yang pelayan biasa lakukan.

"Ah maaf, apa aku boleh tau namamu?" tanya Azura.

Pelayan itu menghentikan langkahnya. Ia berbalik lalu memandang Azura dengan sorot tak suka. "Saya biasa dipanggil Liana. Saya harap Anda berbicara formal kepada saya. Di sini, Anda hanyalah seorang tahanan, bukan seorang bangsawan."

"Ah iya baiklah. Maafkan kelancangan saya," ucap Azura tersenyum tulus. Perlakuan dari Liana tak membuat Azura merasa sedih ataupun sakit hati. Di kerajaan Alley, ia sudah biasa menerima perlakuan tak menyenangkan dari anggota keluarga kerajaan maupun para pelayan. Karena itulah, hal seperti ini tak seberapa baginya.

"Maaf, Liana. Biasakah saya meminta segelas air?" pinta Azura

Pelayan itu mendelik tak suka. "Baiklah, saya akan bawakan," ucapnya lalu pergi meninggalkan kamar Azura.

Azura menghela napas panjang. Ia mulai beranjak dari ranjangnya, berniat menuju jendela untuk sekedar melihat sekitar. Saat ia mulai berdiri, ia mengernyitkan dahi saat merasakan sakit di kedua lututnya. Azura menunduk untuk memeriksa. Ia menatap nanar luka yang masih basah di lututnya. 

Baru ia sadari, kondisinya saat ini masih sama saat meninggalkan Alley. Ia masih memakai gaun biru yang penuh bercak darah. Pergelangan tangannya yang membiru akibat tali ikatan. Luka di lutut, telapak kaki, serta sayatan di telapak tangannya belum mendapatkan pengobatan. Rambut peraknya yang acak-acakan turut menambah kesan memprihatinkan pada dirinya.

Lagi-lagi helaan napas panjang mengudara. Azura memilih abai dengan tubuhnya. Ia melangkah menuju jendela kamar dengan langkah tertatih-tatih.

Sesaat setelah sampai, kelopak matanya melebar. Mulutnya juga ikut terbuka. "Wuah, indahnya." Ia berujar dengan binar takjub di kedua manik hijaunya.

Dari tempatnya memandang, Azura dapat melihat cahaya lampu di tiap-tiap rumah penduduk kerajaan menyala bagai lautan kunang-kunang. Perumahan itu padat sehingga cahaya lampu itu sangat indah dilihat dari ketinggian seperti di tempat Azura berada. Ia mengedarkan pandangannya untuk melihat lebih jauh, namun cahaya lampu itu sangat luas jika hanya dilihat dari jendela kamarnya.

Saat akan membuka kaca jendela, tiba-tiba suara seseorang menghentikannya. "Anda tidak akan bisa kabur dari sini, Nona," ucapnya terdengar angkuh.

Azura berbalik. "Saga tidak berniat kabur. Saya hanya ingin melihat cahaya lampu itu lebih jelas."

Liana mendengus sambil meletakkan segelas air di meja dekat ranjang. "Jendela itu tidak bisa dibuka. Sengaja dikunci untuk keamanan. Apa Anda tidak melihat apa yang ada di balik jendela itu?"

Azura mengernyit bingung. Ia berbalik dan melihat keluar Jendela. Saat matanya melihat kebawah, ia dibuat terperangah.

Jurang. Jurang yang sangat curam. Di dasarnya terdapat sungai yang mengalir ke ibu kota. Tempat yang ia tinggali, yang Liana sebut dengan kastil Rose, ternyata berdiri di pinggir tebing. Kamarnya terletak tepat dibibir tebing. Karena itulah Azura bisa melihat ibu kota dengan jelas dari jendela kamarnya. Sebelumnya ia tak menyadarinya karena matanya hanya fokus melihat cahaya lampu kota.

"Baiklah, saya permisi," ucap Liana lalu beranjak meninggalkan kamar. Saat berada di ambang pintu, ia berbalik. "Sebaiknya Anda membersihkan diri. Anda tak perlu memperlihatkan bahwa Anda adalah tahanan perang dengan penampilan Anda yang seperti itu," ucapnya meremehkan.

Azura hanya tersenyum. "Terimakasih atas sarannya."

Liana mendengus tak suka lalu beranjak setelah menutup pintu kamar sedikit kasar.

Setelah puas memandang lampu-lampu kota, Azura memutuskan duduk di kursi kayu dekat ranjang. Di depannya terdapat meja dan segelas air yang sebelumnya dibawakan Liana. Ia meraih gelas tersebut dan meneguk airnya kasar karena dahaga yang menyiksanya dari kemarin.

Setelah meneguk air sampai tak bersisa, Azura menopang dagu dengan wajah nampak sedang memikirkan sesuatu. "Baiklah. Mulai sekarang hidup baruku akan dimulai," monolognya.

Azura menarik laci di hadapannya. Di dalamnya, terdapat buku dan juga pena bulu lengkap dengan tintanya. Azura lalu mengambil alat tulis tersebut dan meletakkannya diatas meja.

"Aku harus menyusun hal-hal apa saja yang akan aku lakukan selama menjadi tahanan di tempat ini." Azura mengetuk-ngetuk meja dengan dengan jari telunjuknya.

"Pertama, tempat yang sekarang aku tinggali tidak berbeda jauh dengan kastilku di Alley. Bahkan pelayannya sama walau berbeda rupa dan nama." Hembusan napas pasrah mengudara.

"Tidak di Alley, tidak di Vantiago, aku selalu berakhir terkurung di kastil." Bibir Azura mengerucut. "Walau begitu, setidaknya di sini lebih baik. Aku bisa melihat cahaya lampu kota di sini. Itu sangat-sangat indah. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya."

Azura mulai menulis sesuatu di kertasnya.

Kastil Rose, kastil yang terletak di pinggir tebing. Tempat selanjutnya yang akan menjadi penjaraku selain kastilku di Alley. Awalnya kupikir, kehidupanku akan berbeda di sini. Tapi ternyata sama saja.

Walaupun begitu, semesta telah memberikan kesempatan hidup bagiku. Aku hanya harus berusaha untuk bertahan.

Setelah menyelesaikan tulisannya, Azura beranjak dari duduknya. Ia berniat ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Saat akan mengambil langkah, Azura mengingat sesuatu yang membuat kelopak matanya melebar sempurna. Ia buru-buru duduk dan kembali mengambil pena bulu untuk melanjutkan tulisannya.

Jenderal perang, orang yang paling menakutkan dan paling menyeramkan yang pernah kutemui. Rambut hitamnya membuatnya terlihat lebih menakutkan. Terlebih lagi mata birunya yang selalu menatap dingin dan menusuk hingga tulang-tulang.

Aku tidak tahu alasannya membiarkanku tetap hidup. Yang kutahu, dia orang yang berbahaya. Hidupku tak akan tenang jika berurusan dengannya.

Bagaimanapun, aku tak boleh bertemu dengannya. Sebisanya aku akan menghindarinya. Hingga ia melupakan keberadaanku dan aku bisa melanjutkan hidup dengan tenang di kastil ini.

🌻
==============================
~Renjuniastri~

Princess CastleOù les histoires vivent. Découvrez maintenant