39

14.6K 2.1K 131
                                    

"Dasar anak tidak berguna!"

Cercaan dengan suara menggelegar itu membuat Letizia kecil bergetar hebat. Ia menunduk dalam sambil berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah membasahi pipi halusnya.

"Bukannya Ayah sudah bilang, kau tidak boleh menangis! Tidak di luar maupun di rumah! Berapa kali Ayah harus mengatakannya?!"

"M-maaf Ayah," lirihnya dengan suara bergetar. "Kakiku terbentur batu saat Kakak mendorong ku. Jadi ak-"

"Apa itu benar, Louis? Kau mendorong Letizia?" potong Samuel lalu menoleh menatap Louis yang sedang duduk santai di sofa ruang tengah.

"Aku tidak mendorongnya, Ayah. Aku hanya tidak sengaja menyenggol lengannya. Dia saja yang terlalu cengeng." Louis beralih menatap Letizia yang kini terlihat membulatkan sepasang maniknya.

"Kakak berbohong. Dia mendorongku sangat kuat sampai aku ja-"

"Sudah, hentikan!" Sang Ayah kembali memotong ucapan pembelaan Letizia. "Apapun alasannya, Ayah tidak mau dengar. Sekali lagi Ayah melihat atau mendengar kau menangis, Ayah tidak akan segan menghukum mu, Letizia. Jangankan menangis, jika sekali saja Ayah melihat kau menampilkan raut wajah diluar yang Ayah perintahkan, kau akan mendapat hukumannya."

"Kenapa Ayah bersikap seperti ini padaku?" Letizia memberanikan diri menatap mata tajam Ayahnya. Dengan kedua pupil bergetar, ia berkata, "Kakak tidak pernah dihukum atas kesalahan apapun. Kakak bebas melakukan apa saja dan menampilkan ekspresi semaunya. Kenapa hanya aku yang tidak boleh?"

"Berani sekali kau." Samuel melayangkan tangannya, bersiap menampar putrinya yang masih berusia 7 tahun itu. Namun niatnya terhenti saat sang Istri, Duchess Melani Wester datang.

"Sudah, hentikan." Melani menarik Letizia ke dalam dekapannya. "Biarkan dia kali ini, Sayang. Biar aku yang mengurusnya. Kau pergilah bersama Louis. Kau tidak ingat hari ini akan ada pertemuan di istana?"

Samuel mendengus kasar. Ia beralih menatap Letizia yang kini menunduk di dekapan ibunya. "Jangan lagi kau berani mempertanyakan alasan Ayah, Letizia. Dan juga, jangan pernah kau berani menyamakan dirimu dengan kakakmu. Kalian berdua berada di tempat yang berbeda dan hanya akan sama jika kau bisa menjadi Ratu di masa depan." ucapnya dengan tatapan menusuk lalu berlalu dari ruang tengah, tempat Letizia dan sang istri berada.

"Letizia," panggil Melani.

Letizia yang masih berada dalam dekapan yang tidak hangat itu, memundurkan tubuhnya perlahan hingga ia bisa melihat wajah dingin sang Ibu.

"Kau dengar perkataan Ayahmu? Jangan ulangi lagi. Kau paham?"

"Tapi kenapa? Kenapa Ayah dan Ibu bersikap seperti ini padaku?" Kedua bahu Letizia mulai bergetar, bersiap menumpahkan air matanya.

Melani mencengkram erat kedua lengan Letizia saat melihat putrinya itu akan menangis. "Dengar, Letizia. Ini semua demi kebaikanmu. Kau tidak akan menjadi ratu jika kau bersikap seperti ini."

"Tidak." Letizia menggeleng sambil menahan rasa sakit di kedua lengannya. "Jika menjadi ratu aku harus menjalani ini semua, aku tidak ingin menjadi ratu."

Cengkraman di kedua lengan Letizia makin erat, membuat gadis kecil itu meringis kesakitan. "Jika di masa depan kau tidak bisa menduduki tahta ratu, lebih baik kau mati saja."

Tubuh Letizia menegang bersamaan dengan napasnya yang terhenti seketika. Dadanya seolah diremas oleh sesuatu tak kasat mata, membuatnya sangat sesak hingga ia melupakan rasa sakit di kedua lengannya.

"Ingat, Letizia. Kau hidup hanya karena kau akan menjadi seorang ratu. Camkan itu!" Melani menghempaskan lengan Letizia. Ia beranjak, meninggalkan Letizia yang masih terpaku di tempatnya.

Princess CastleWhere stories live. Discover now