22

19.6K 3.4K 269
                                    

Mata itu terbuka, menampakkan iris biru lautnya yang menjadi ciri khas keturunan kerajaan Vantiago. Ia terbangun dari tidurnya, duduk bersandar sejenak untuk menghilangkan rasa kantuknya.

Matanya lalu terarah pada sofa yang terletak di tengah ruangan. Menangkap sosok perempuan yang sedang tertidur pulas disalah satu sofa yang panjang. Wajahnya nampak tenang, sesekali tersenyum, sepertinya sedang bermimpi indah.

Sudah tiga hari ia selalu mendapat pemandangan seperti itu disetiap bangun tidurnya. Membuatnya ingin melihatnya lagi dan lagi, setiap hari, setiap ia bangun. Karena itulah, ia tak peduli jika perempuan itu kesal dengan kedatangannya. Asal dirinya bisa melihatnya, ia tak peduli dengan lainnya.

Hal tersebut adalah salah-satu alasannya ingin terus datang ke kastil rose. Alasan lainnya yaitu, ia tak pernah lagi bermimpi buruk selama tidur ditempat itu. Mimpi buruk tentang kenangan masa lalunya yang selalu datang ditiap tidurnya, tak pernah lagi datang selama tiga hari terakhir. Membuat tidurnya yang tak pernah lelap, kini terbangun dengan perasaan lega dan tenang.

Elden sendiri tidak tau alasan mengapa hal tersebut bisa terjadi. Dan juga ia tak peduli. Asalkan Azura adalah penyebab mimpi buruknya pergi, ia sama sekali tak keberatan. Bahkan bisa dibilang, ia senang.

Entah sejak kapan kehadiran Azura menjadi sebuah candu bagi Elden. Ia selalu ingin melihat perempuan itu. Tak peduli jika tak berinteraksi. Asal Azura ada dalam jarak pandangnya, ia sudah merasa cukup. Bahkan sekarang, ia hanya bisa tertidur lelap jika ada Azura disekitarnya.

Menghela napas panjang, Elden berdiri lalu melangkah pelan menuju sofa. Sejenak ia terdiam saat telah sampai dihadapan Azura. Ia memandangi wajah tenang itu, wajah yang selalu terlihat baik-baik saja bahkan setelah semua penderitaan yang dilaluinya.

Kembali ia mengingat saat Azura menceritakan masa lalunya beberapa jam yang lalu. Cerita yang membuat Elden mati-matian menahan amarahnya. Cerita yang membuat Elden sangat menyesal karena tidak menghancurkan kerajaan Alley sampai ke akar-akarnya.

"Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?" tanya Elden dengan rahang yang sudah mengeras.

"Saya tidak tau pasti. Saat membuka mata, saya sudah ada di kastil" jawab Azura. Matanya mulai berkaca-kaca sebelum kembali melanjutkan ucapannya.

"Satu hal yang pasti. Emily telah tiada saat saya terbangun waktu itu," sambungnya dengan suara yang bergetar.

Sorot mata Elden mengkilat marah, "Lalu bagaimana dengan ayah bodohmu? Apa dia tidak murka dengan kejadian itu?"

"Ayah marah besar," jawab Azura cepat. "Ayah memenjarakan laki-laki itu sebelum mengirimnya bertugas di perbatasan," sambungnya lalu tersenyum puas.

Elden mengehela napas kasar saat mengingat betapa puasnya Azura saat itu dengan hukuman yang diberikan Arthur pada laki-laki yang telah memberi luka pada fisik dan juga mentalnya.

"Bodoh," gumam Elden sebelum duduk bersimpuh dihadapan Azura.

"Hukuman mati saja bahkan tak pantas diberikan pada bajingan itu." Elden mengepalkan tangannya.

"Seharusnya matanya dicongkel karena berani menatapmu,"

"Seharusnya tangannya dipotong karena berani memukulmu,"

"Seharusnya tubuhnya dikuliti karena berani menyentuhmu," desisnya dengan kilatan marah dikedua mata birunya.

Lagi-lagi Elden menghela napas panjang, mencoba menahan segala amarah dalam dadanya. Tangannya terangkat, perlahan mendekat ke wajah Azura. Ia menyingkirkan helaian rambut yang menutupi wajah cantik perempuan itu. Ia melakukannya dengan hati-hati dan sangat lembut seolah Azura adalah sebuah kaca yang mudah retak karena sentuhan.

Princess CastleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang