44

11K 1.8K 57
                                    

Sepasang tungkainya melangkah tergesa. Jari-jarinya memutih akibat kepalan tangannya yang teramat erat. Deru napasnya terdengar tak beraturan. Pun dengan degup jantungnya yang bekerja abnormal.

Perlahan namun pasti, asap yang membumbung tinggi di udara mulai terlihat sumbernya. Antonio terdiam, membeku layaknya patung yang memiliki jantung. Napas yang sebelumnya memburu kini tercekat. Netranya menangkap si jago merah yang berkobar bak kesetanan. Melahap habis bangunan tempat tinggal sang pemilik hatinya.

"Antonio."

Beberapa menit kemudian, suara memanggil namanya samar terdengar. Tenggelam bersama suara derap langkah dan teriakan perintah dari para prajurit yang sibuk memadamkan api.

Yang dipanggil tak menjawab. Pun tak menoleh. Pandangannya terus terarah pada api yang kobarannya mulai mengecil. Tatapan matanya kosong. Raganya seolah tak lagi memiliki jiwa. Pikirannya dipenuhi oleh satu sosok yang membuat telinganya berdengung dan hatinya teriris pilu.

"Yang Mulia."

Seorang prajurit yang lewat di depan Antonio, mengehentikan langkah tergesanya lalu membungkuk hormat. Hal tersebut menarik kesadaran Antonio. Ia menoleh, mengikuti arah pandang sang prajurit. Matanya kemudian bersitatap dengan sepasang manik biru Rajanya. Tubuhnya sepenuhnya berbalik lalu ikut membungkuk memberi hormat.

Antonio kembali menegakkan tubuhnya saat Elden dengan raut wajah datarnya datang menghampirinya. Kedua netra biru itu menatap tanpa minat pada bangunan dengan api yang menyala terang, sebelum akhirnya kembali menatap Antonio.

"Kau sungguh tidak sopan meninggalkan pesta jamuan tanpa izin dariku." Suara dingin itu mengudara, kontras dengan suasana bersuhu relatif tinggi.

"Maaf, Yang Mulia. Saat mendengar kabar kastil rose terbakar, saya kehilangan separuh akal sehat saya," jawab Antonio terus terang dengan suara terdengar sangat pelan, seolah tak lagi memiliki tenaga.

"Berlebihan."

Antonio menatap Elden yang kini kembali memandangi kastil rose yang tidak lagi berbentuk. Sorot di kedua matanya terlihat dingin, tanpa ekspresi seperti Elden yang biasanya. Seolah apa yang terjadi di hadapannya bukanlah perkara penting yang sampai harus ia pusingkan.

"Yang Mulia," panggil Antonio.

"Hm," jawab Elden tanpa mengalihkan pandangannya.

"Apa Anda tidak merasa sedih atau marah melihat kastil rose terbakar?"

"Kenapa aku harus bersikap demikian? Kastil itu hanyalah bangunan tua peninggalan orang-orang di masa lalu."

Antonio termangu beberapa saat sebelum kembali bersuara, "Tapi Yang Mulia, kastil itu dulunya adalah tempat tinggal Ibunda Anda. Dan lagi, ... " 

"Kastil itu tempat tinggal Azura," lanjutnya dengan suara lirih.

Wajah Antonio memucat, seolah darahnya tidak mengedar ke seluruh tubuhnya. Melihat api yang meluluhlantakkan bangunan kastil rose, membuat harapannya akan keselamatan Azura semakin kecil. 

"Lantas?" Elden mengalihkan pandangannya, menatap Antonio di hadapannya. "Ibuku hanyalah bagian dari masa laluku. Begitupun dengan kastil yang mendiang Raja terdahulu buatkan untuknya. Perkara tentang gadis itu, apa aku juga harus memikirkannya? Dia hanyalah tahanan perang dari negeri yang telah runtuh di bawah kaki ku."

Antonio balas menatap Elden. Kali ini ia dengan berani menyisipkan amarah dalam sorot matanya. "Gadis yang Anda katakan tahanan perang itu memiliki nama, Yang Mulia. Namanya Azura."

"Oh ya?" Elden menarik salah satu sudut bibirnya. "Sebegitu berharganya kah dirinya hingga kau secara terang-terangan menunjukkan amarahmu padaku, Cassano?"

Princess CastleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang