18

22.5K 3.6K 97
                                    

Elden duduk sambil menyadarkan punggungnya di kepala ranjang. Terhitung 15 menit berlalu sejak Liana kembali datang dengan membawa makan siang untuk Azura. Makan siang yang membuat Elden mendecak kesal karena makanan tersebut adalah roti, sama seperti yang ia makan saat sarapan tadi.

Ia sangat lapar, dan makanan yang disediakan di kastil rose hanya sebuah roti yang sialnya harus ia bagi dua dengan Azura. Awalnya Elden menolak untuk berbagi dengan Azura, namun perempuan itu lebih dulu mengambil roti tersebut lalu memotongnya menjadi dua. Elden yang lapar dan tak punya pilihan, terpaksa memakan roti tersebut.

Saat Liana datang, Elden tak perlu lagi bersembunyi di lemari pakaian Azura. Itu karena Liana hanya meletakkan makan siang Azura didepan pintu, lalu pergi begitu saja setelah menendang kasar pintu kamar Azura. Mungkin ia masih kesal dengan kejadian pagi tadi.

Seharian Elden hanya duduk di ranjang tanpa melakukan apapun. Walau terus-terusan berada di dalam kamar, hal tersebut tak membuat Elden merasa bosan. Keberadaan Azura membuatnya tak merasa jenuh sedikitpun. Apa yang dilakukan perempuan itu membuat Elden merasa tertarik untuk memperhatikan.

Perempuan itu juga tak pernah meninggalkan kamarnya. Ia terlihat sama sekali tidak terganggu dengan keberadaan Elden. Azura menghabiskan waktu duduk dipinggir jendela sambil menatap keluar. Elden dapat melihat binar bahagia di mata Azura saat perempuan itu menatap keluar.

'Apa hanya ini yang ia lakukan selama tinggal disini?' Elden membatin sambil memperhatikan Azura. Sekarang ia tau alasan kenapa perempuan itu berani meninggalkan kastilnya bahkan setelah Elden mendapatinya. Selain karena makanannya, pasti ia juga merasa bosan seharian berada di kastilnya tanpa bisa melakukan apapun.

Azura beranjak dari duduknya. Ia melangkah menuju kursi kosong yang berhadapan dengan meja yang biasa ia gunakan untuk makan dan juga menulis. Ia duduk di kursi tersebut lalu mengeluarkan alat tulis dari laci meja. Apa yang dilakukannya membuat laki-laki yang sedari tadi memperhatikannya semakin penasaran.

'Oh? Dia pandai menulis?' Elden kembali membatin dengan wajah terkejut saat mengetahui fakta baru tentang Azura. Ia tak menyangka, perempuan yang selama hidupnya ia habiskan dalam kurungan ternyata tidak sebodoh yang dipikirkannya.

Mata Elden menangkap ekspresi cemberut dari perempuan itu saat menuliskan sesuatu di kertasnya. Alisnya bertaut dengan bibir sedikit menekuk. Tangannya bergerak kasar saat menorehkan tinta pada kertas putihnya. Elden jadi penasaran dengan apa yang ditulis perempuan itu hingga ia tampak begitu kesal.

Tuhan, tolong aku.
Tak bisakah kau mempercepat malam? Aku sungguh tak tahan dengan manusia es itu. Udara kamarku yang biasanya sejuk, kini sangat dingin seolah salju menembus dinding kamarku. Lihatlah, ia terus saja melihat ku solah aku ini adalah makanannya.

Itulah sepenggal keluh kesah Azura yang ia tuangkan dalam kertasnya. Berharap sang pemilik semesta mendengar dan mau mengabulkannya. Ia sungguh tertekan dengan keadaannya saat ini. Ia seolah diawasi binatang buas yang siap menerkamnya kapan saja. Bergerak tak bebas dan bernapas pun rasanya sulit untuknya.

Sunyi terus menerpa ruangan bernuansa putih abu-abu itu. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Sesekali Elden bersuara hanya untuk menyuruh Azura mengambilkan air untuknya. Air minum yang letaknya dekat ranjang, berjarak hanya sepanjang lengannya.

Ia bisa saja mengambil air itu tanpa harus memerintah Azura. Namun Elden tetap melakukannya karena senang saat melihat wajah kesal Azura yang tak bisa ia sembunyikan.

Waktu terus berlalu. Bulan telah menggantikan peran matahari di langit. Waktu yang sedari tadi ditunggu Azura akhirnya tiba. Wajahnya nampak cerah. Inilah saatnya mengembalikan Elden ke tempat asalnya.

Princess CastleWhere stories live. Discover now