53

11.5K 1.8K 239
                                    

Helaan napas berat kembali menyapa pendengaran Letizia. Ia melirik, lantas mendapati wajah Antonio yang nampak suram dan sedikit gundah.

Apa peduliku?

Letizia kembali menatap ke depan. Kemarin-kemarin mungkin tanpa bertanya ia akan langsung menghibur lelaki itu, namun kini Letizia memilih tidak peduli. Lagipula Antonio telah bertemu dengan sumber bahagianya, maka peran Letizia sebagai pengisi hiburan tidak lagi dibutuhkan.

Rasanya mulai melelahkan. Diingat jika hanya berada dalam titik terendah dan dilupakan saat bahagia mulai menyapa, ternyata sangat menyesakkan dan juga menyakitkan.

Letizia kira, takdir kejam yang selama ini ia lewati sudah membuatnya menjadi sosok yang tahan banting. Namun rasa sesak di hatinya menjelaskan bahwa ia tidak sekuat yang ia pikirkan.

Letizia lemah. Sedari dulu memang sudah seperti itu. Hanya saja ia pandai dalam berlakon.

Disaat dirinya sudah menemukan sosok yang membuatnya kuat bertahan di lingkar kebohongan, ia jatuh. Tapi sayangnya ia jatuh sendirian. Sosok yang ia harapkan enggan untuk menangkapnya.

Menyakitkan. Sepertinya Letizia harus menyerah akan perasaannya mulai sekarang. Ia mau bahagia, namun jika kebahagiaan tidak berpihak padanya, apa boleh dikata?

"Sepertinya aku akan menyerah."

Suara lirih itu membuyarkan lamunan Letizia. Ia menoleh dengan sedikit kerutan samar di keningnya. Tidak biasanya pria itu berucap lebih dulu. Selama ini, keberadaan Letizia seolah hanyalah bayangan semu bagi Antonio. Jika bukan Letizia yang menyambangi atau mengajaknya berbincang lebih dulu, maka Antonio akan selamanya diam.

"Ah, maaf. Anda pasti terkejut mendengar ucapan saya. Terlebih lagi saya tiba-tiba memakai bahasa informal."

"Tidak apa-apa. Senyaman Tuan Cassano saja."

"Bolehkah?"

Letizia mengangguk.

"Apa kau keberatan mendengar ceritaku?"

"Tentang apa?"

Lagi-lagi Antonio menghela napas berat. "Tentang Azura."

Letizia tersenyum. Senyum untuk menutupi rasa getir di hatinya. "Tentu saja."

"Kau pasti tahu bukan jika aku menyukai Azura?"

"Ya, tentu. Terlihat jelas sekali. Hanya orang bodoh saja yang tidak menyadarinya." Letizia beralih menatap lurus ke depan.

Antonio terkekeh. "Tapi Azura tidak menyadarinya. Apa itu artinya dia bodoh?"

"Ya, dia memang bodoh," jawab Letizia.

Kekehan Antonio kembali mengudara. "Seperti biasa, kau selalu mampu menghiburku."

"Sepertinya itu adalah keahlian baruku selama menjadi rekan kerjamu."

Antonio mengulas senyum tipis. Ia ikut memalingkan wajahnya ke depan, menatap pelayan rumah makan yang sibuk lalu lalang melayani para pelanggan. Pesanannya dengan Letizia belum datang, mungkin berada dalam antrian panjang melihat banyaknya pelanggan malam ini.

"Aku sepertinya akan menyerah terhadap Azura." ucap Antonio setelah lama terdiam.

"Menyerah dalam artian?"

"Perasaanku padanya," jawab Antonio. "Aku berniat menyerah atas perasaanku pada Azura."

Secepat kilat Letizia menoleh. Kedua alisnya bertaut bingung. "Mengapa demikian?"

Antonio menghirup udara dalam-dalam. Hati dan pikirannya merana. Raut wajahnya-pun nampak gundah. "Yang Mulia Raja menyukai Azura."

Sebelah alis Letizia terangkat. Jadi ini alasan di balik wajah muram Antonio sejak meninggalkan rumah Azura sore tadi?

Princess CastleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang