17

21.5K 3.5K 111
                                    

"Sekarang saatnya memberimu hukuman."

Elden menundukkan kepalanya, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Azura. Salah-satu sudut bibirnya terangkat, membentuk seringaian menakutkan di wajahnya.

Tangan kiri Elden yang berada di sisi kepala Azura terangkat, beralih memegang dagu Azura dan memaksanya mendongak menatapnya. Tatapan keduanya saling bertemu. Iris biru Elden memancarkan aura intimidasi yang begitu nyata membuat Azura mengalihkan pandangannya karena ketakutan.

Elden tersenyum remeh, "Apa sekarang kau takut?" Elden melepaskan genggamannya dari dagu Azura dengan kasar. Tangannya kembali diletakkan di samping kepala Azura, mengunci tubuhnya agar tak bergerak kemanapun.

Perempuan itu menunduk sambil mencengkram erat gaunnya. Hal yang yang menjadi kebiasaannya saat ketakutan. Dalam hatinya tak berhenti berharap, agar hukuman yang Elden berikan bukanlah kurungan di kereta barang.

Elden bersiap kembali bersuara, berniat memberi sepatah kata yang bisa membuat Azura memucat dan bergetar takut. Namun yang terjadi selanjutnya sungguh diluar dugaan. Bukan suara dari mulutnya yang terdengar, melainkan suara yang tak pernah ia harapkan yang terdengar dan sialnya begitu keras.

Kruyuuuuk...

Azura yang sedang menunduk takut sontak mengangkat kepalanya saat mendengar suara aneh tersebut. Ia menatap Elden, laki-laki itu masih di posisinya, mengunci pergerakan Azura dengan kedua tangannya sambil menatapnya dengan sorot tajam.

'suara barusan dari perutnya kan?' Azura membatin sambil menatap Elden yang terlihat seperti tak mendengar suara tersebut.

Laki-laki itu tak bergerak sedikitpun. Aura dan tatapannya masih mengintimidasi walaupun dalam hati berteriak mengutuk diri. Ia berusaha sekuat mungkin agar wajahnya tetap terlihat biasa saja saat perempuan itu menatapnya dengan wajah bingung.

"Tuan? Apa anda lapar?"

Pertanyaan yang terlontar dari mulut Azura seketika mengubah wajah dingin Elden menjadi merah karena menahan kesal dan juga malu. Harga diri dan kehormatannya yang baru saja ingin ia bangun kembali, kini runtuh menjadi puing tak berarti.

Elden menurunkan kedua tangannya. Ia tak lagi memiliki semangat untuk memberikan pelajaran pada perempuan itu. Seolah kemarahannya meluap dan berganti dengan rasa hina yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia berbalik dan melangkah menuju ranjang tanpa menatap Azura.

"Tuan?" Azura kembali bersuara saat Elden melangkah pergi. Merasa heran melihat perubahan sikapnya yang begitu tiba-tiba.

"Tuan Elden?"

Elden yang hendak duduk di tepi ranjang terhenti begitu saja dengan posisi tubuh setengah menekuk. Sontak ia kembali berdiri lalu berbalik menatap Azura dengan wajah terkejut.

"Darimana kau tau namaku?"

Suara rendah namun penuh penekanan itu membuat Azura dengan segera membuka mulut, "Da- dari Tuan rambut merah."

Sebelah alis Elden terangkat, "Cristian? Kenapa dia sampai memberi tau namaku padamu?"

Mendapat tatapan tajam dari Elden, buru-buru Azura menjawab, "Kami bercerita tentang Anda hari itu."

"Bercerita tentangku?"

Azura mengagguk, "Ya. Tuan rambut merah berkata, Tuan Elden adalah jendral perang kerajaan Vantiago."

"Lalu? Hanya itu?" Elden semakin penasaran.

Azura menatap langit-langit kamar, "Mmm... Tuan Elden adalah jendral hebat yang menakutkan. Jendral yang tak memiliki belas kasih dan juga perasaan." Azura tanpa sadar mengoceh mengungkapkan semua yang ada dalam pikirannya. Ia dengan cepat melupakan fakta bahwa orang yang sedang ia bicarakan ada didepannya.

Princess Castleजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें