27. Mandi Hujan

18.5K 1.5K 28
                                    

🌸 Happy Reading 🌸

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam begitu Giya dan Banu keluar dari sebuah kafe. Mereka baru saja makan malam di sana.

Di tengah perjalanan mereka pulang tiba-tiba hujan mulai turun menyapa mereka. Banu langsung menepikan motornya tepat di depan halte karena hujan semakin deras.

"Neduh dulu ya, Gi, gue nggak bawa jas hujan." Ujar Banu begitu mereka duduk di halte.

"Iya." Giya mengangguk sekali.

"Nggak nyangka bakalan hujan gini." Gumam Banu, kepalanya menengadah menatap hujan yang seolah sedang berlomba-lomba membasahi bumi.

Sebab sudah sebulan ini cuaca selalu cerah, begitupun cuaca tadi sebelum mereka berangkat ke kafe. Alam tidak menunjukkan tanda-tandanya bahwa hujan akan turun.

Giya menghirup napas dalam-dalam dengan mata terpejam, meresapi aroma dari tanah taman di sekitar halte yang terbasuh hujan. Petrichor. Aroma yang selalu menjadi favoritnya saat hujan pertama di tengah kemarau seperti sekarang.

Setengah jam lebih sudah mereka berteduh di halte namun hujan tak kunjung menunjukkan akan berhenti. Giya mulai jenuh, ditambah banyak pengendara motor lain yang terus berdatangan memenuhi halte.

"Lanjut aja yuk, Ban. Udah kelamaan ini." Pinta Giya.

"Masih deres banget, Gi."

"Nggak papa lah sekali-kali hujan-hujanan. Besok Sabtu ini, libur."

"Yakin?" Banu memastikan.

Giya menggangguk pasti.

"Ya udah, tapi lo pake jaket gue ya!" Titah Banu.

Giya mengangguk sekilas. Banu lantas melepas jaket bombernya lalu memakaikannya pada Giya. Setelahnya tangan kanan Banu terulur merapikan beberapa helaian surai Giya yang menempel di sekitar pipi gadis itu, lalu menyelipkannya di belakang telinga Giya.

Giya mendongak menatap manik mata Banu yang juga tengah menatapnya. "Cie cieee."

Banu terkekeh, kemudian mengacak gemas rambut Giya. "Hobi banget ngerusak suasana deh lo!"

"Ck. Nggak konsisten banget sih, niat ngerapihin apa berantakin rambut gue sih!" Giya berdecak sebal.

Banu kembali terkekeh, kemudian merangkul pundak Giya menuju motornya.

"Udah siap tuan putri?" Tanya Banu begitu ia merasakan Giya sudah duduk di boncengannya, menelengkan kepalanya ke belakang.

Giya terkekeh mendengar ucapan Banu, tangannya refleks memukul pelan punggung Banu. "Udah ih buruan!"

Banu melajukan motornya, mereka pun kembali membaur dengan pengendara lainnya di tengah hujan yang masih deras mengguyur bumi. Sekitar 20 menit mereka sudah sampai di rumah Giya.

"Huaahh gokil! Udah lama banget gue nggak mandi hujan." Seru Giya seraya melepaskan helm. Baju dan celananya kini sudah basah kuyup.

"Suka?" Tanya Banu yang juga melepas helm.

Giya mengangguk semangat, hal itu membuat Banu tersenyum geli.

"Tapi asli deh, Ban, seumur-umur baru sama lo doang gue dibonceng pake cangcorang." Ujar Giya.

"Cangcorang?" Banu menaikkan sebelah alisnya.

Giya kembali mengangguk. "Ini." Ucapnya dengan menepuk-nepuk jok motor Banu.

Banu mendelik kemudian menarik gemas hidung Giya. "Lo mah kebangetan kalo ngomong, motor gagah begini dibilang cangcorang! Gue kasih nama Hulk ini motor!" Sewot Banu.

Tetangga Jauh (TAMAT)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora