30. Dingin

17.6K 1.3K 27
                                    

🌸 Happy Reading 🌸

Giya meraba sisi kosong di sebelahnya, terasa dingin. Padahal kemarin malam, di sisi sebelahnya itu masih ditiduri oleh Banu yang mendekapnya sepanjang malam. Ya, setiap malam pemuda itu memang selalu memeluk Giya saat tidur. Memberinya kenyamanan.

Namun malam ini Giya kembali tidur sendiri. Padahal seharusnya ia lega karena ia dan Banu tidak tidur di ranjang yang sama lagi, namun nyatanya perasaan kehilangan yang mulai menggelayutinya.

Hingga pagi tiba kedua mata Giya seperti enggan terpejam. Memutuskan untuk ke dapur saja, memasakkan nasi goreng kesukaan Banu mungkin bisa membuka jalan untuk mengajak Banu mengobrol perihal semalam.

Begitu melewati kamar Banu, pintunya masih tertutup rapat. Menuju sejenak ke ruang santai juga tidak ada tanda-tanda Banu sedang menonton televisi seperti hari Minggu biasanya. Akhirnya Giya memutuskan untuk langsung ke dapur.

Setelah hampir dua puluh menit nasi goreng keju kesukaan Banu telah tersaji di meja makan. Kemudian Giya melangkah ke kamar Banu.

Sesampainya di depan kamar Banu, Giya menarik napas sejenak, baru mengetuk pintu kamarnya.

"Ban? Lo udah bangun kan?" Tanya Giya memastikan karena tak ada sahutan dari dalam setelah mengetuk pintu beberapa kali.

Tok.. Tok... Tok...

"Ban?"

Pintu terbuka, menampilkan sosok jangkung dengan wajah dingin. Wajah yang belum pernah Giya lihat sebelumnya. Tak ada senyum jahil yang biasanya terpatri di bibirnya. Tak ada tatapan hangat yang biasanya selalu memakunya. Semuanya serba tak biasa.

"Lo belom makan kan?"

Banu hanya menggeleng sekilas.

"Gue udah bikin nasi goreng keju, makan dulu yuk!" Ajak Giya.

Banu hanya mengangguk sekali lalu melewati Giya begitu saja. Tanpa suara, tanpa celotehan, pun tanpa godaan khasnya.

Giya hanya bisa mengembuskan napas berat kemudian menyusul Banu menuju meja makan. Giya memilih duduk di depan Banu agar bisa mencuri pandang. Namun yang ada pemuda itu hanya menunduk, seolah begitu khidmat menyelesaikan sarapannya.

Tak lama kemudian Banu beranjak, membawa piring bekas pakainya menuju kitchen sink dan langsung mencucinya.

"Banu?" Panggil Giya begitu Banu melewatinya.

Si pemilik nama hanya menoleh, menatap Giya seolah bertanya 'ada apa'.

"Hm itu.. Lo hari ini ada rencana ngapain aja?"

"Ngerjain tugas doang. Gue duluan, thanks sarapannya." Sesuai ucapannya, Banu benar-benar lebih dulu undur diri.

Giya kembali menarik napas dalam. Mungkin pagi ini belum waktunya ia berbicara dengan Banu. Nasi gorengnya bahkan belum habis setengahnya, namun ia memilih untuk langsung mencuci saja piringnya.

💟💟💟

"Mas bener-bener minta maaf sama kamu. Mas bener-bener khilaf tanpa mikir apa-apa lagi."

Elang mengiba pada Giya, hal itu justru memunculkan sebuah senyum miring di bibir Giya. "Khilafnya sering banget." Batin Giya bersuara.

Bercak merah keunguan yang masih begitu pekat di leher Elang tentu sudah menarik perhatiannya sejak pertama kali Elang membukakan pintu untuknya.

"Aku bingung, Mas, harus gimana lagi." Lirih Giya. Ia hanya memandangi tangannya yang berada dalam genggaman Elang, ia tak mau melihat wajah iba dari lelaki itu.

Tetangga Jauh (TAMAT)Where stories live. Discover now