46. Hom pim pa

75 57 61
                                    

🐝🐝🐝

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

🐝🐝🐝

"Saat makan nasi gue selalu bilang kenyang karena kesulitan menelan, tapi sebenarnya karena gue gak mau.."

"..Gue gak suka olahraga karena gue takut kalah, saat berlari rasanya seperti dikejar-kejar, saat memukul bola rasanya seperti memukul diri sendiri,"

".. Sekarang gue tau kenapa gue kayak gini, Fan. Dulu gue takut sama mamah, gue benci orang yang paling gue sayang dan rindukan saat ini.." ucap Rara seraya menyeka air matanya.

Perlahan Rara mulai mengutarakan isi hatinya. Irfan tak mengira akan mendengar hal ini begitu cepat, ya inilah yang ia inginkan selama ini.

"Seberapa dalam luka lo? kalau ini baru permulaan, berapa banyak lagi rahasia lo? Gue pikir gue bakal baik-baik aja, tapi kenapa rasanya sesak setelah denger cerita lo?" Batin Irfan.

"..Sejak kecil gue dipaksa terus belajar, gue dilarang main sama temen-temen kecuali untuk belajar bareng, gue bahkan lupa apa hal yang gue suka.."

"..impian? Sekarang gue gak punya mimpi. Gak ada hal gue suka dan gak ada hal yang ingin gue lakuin di masa depan," ucap Rara semakin emosional.

"..apa mamah gue sejahat itu? Apa gue emang gak berhak bahagia? Mamah membuat jalan mulus tanpa hambatan tapi dia lupa telah menyingkirkan bunga di jalan itu.."

Tangis Rara kembali pecah, Irfan pun mendekapnya lagi dengan hangat. Tak ada satupun kata yang keluar dari mulut laki-laki gondrong itu.

Ia terdiam tak menghentikan cerita Rara ataupun mengeluarkan kata-kata penenang seperti yang biasa ia lakukan. Kemana perginya senda guraunya? Ia terlihat sangat serius kali ini.

"Fan, apa gue boleh bersandar sama lo?"

Rara melepaskan pelukan itu dan menatap mata Irfan dalam-dalam. Namun laki-laki membisu, ia bahkan berhenti berkedip.

"Padahal itu yang selalu gue minta dari lo, Ra. Bahu gue bukan cuma tempat buat lo nangis, lo bisa bersandar dan bergantung sama gue. Tapi kenapa gue ragu? Gue takut gak bisa penuhi janji gue, gue takut gak bisa selalu ada buat lo" monolog Irfan.

"Tentu dong kita kan temen," jawaban Irfan menghancurkan harapan Rara. Sekali lagi laki-laki itu menegaskan hubungan keduanya. Apa ia hanya menganggap Rara sebatas teman saja.

"Sebagai temen lo gue bakal pinjemin bahu gue, emm sewa aja gimana?"

Rara tak habis pikir dengan gurauan Irfan. Ia pun menjambak rambut gondrong laki-laki itu hingga ia menjerit kesakitan.

"Ra ra tungguin gue" teriaknya seraya menuruni tangga mengejar gadis itu.

Disisi lain, pria di balik pintu tampak tersenyum bangga. Senyuman indahnya mengalahkan mentari yang kini mulai surut.

"Menarik sekali, jadi lo korban strict parent. Itulah sebabnya kita sama, lo tenang aja Ra gue bakal bantu lo nemuin jati diri lo yang sebenarnya," ambisinya.

Hi Rarala [✓]Where stories live. Discover now