1,5 Tahun Part A

1K 83 23
                                    

Mereka tiba di Lukedonia pada malam harinya dan memutuskan menemui lord terlebih dahulu. Saat mereka tiba di lorong mansion, nampak beberapa kepala keluarga seperti Kairu, Rozaria, Karias dan Lazark memberi hormat pada Raizel yang membalas denyan sebaris senyum tipis yang teduh seperti biasa.

Cahaya lampu jatuh pada bayang-bayang tembok berwarna coklat kemerahan, langkah mereka terhenti di depan sebuah pintu gerbang berwarna merah. Ruangan Lord kemudian membuka lebar, dengan Lascrea yang sudah mengetahui kedetangan mereka. Di sampingnya Gejutel berdiri tanpa banyak bicara.

"Tuan" sambut Gejutel kemudian

"Aku terkejut kau datang kemari sejak setahun yang lalu" kata Lascrea dengan dingin, nyaris ekspresi

"Seperti yang sudah kau ketahui seharusnya"

"Jika yang kau maksud adalah adikmu, sayangnya dia belum bangun sama sekali sejak di bawa kemari" jawaban Lascrea menimbulkan kesedihan yang terpencar di raut wajah Raizel

"Dia masih ada di ruang suci milik lord terdahulu. Jika anda mau saya bisa mengantar anda ke sana" kata Gejutel sekedar menghibur hati Raizel

"Aku akan kembali ke mansionku" katanya kemudian mencoba menyembunyikan kesedihannya, berlalu dari tempat tersebut. Raut wajah Frankenstein yang sejak tadi setia mendampingi di belakangnya tak lebih baik dari Raizel, namun dia mencoba tampak lebih tegar dan mengikuti arah langkah Raizel yang berletuk pelan.

Sinar mentari kemudian menyentuh tiap celah jendela mansion di mana Raizel tinggal. Pria itu seperti biasanya hanya menatap keadaan luar dari jendela kecil di hadapannya, pemandangan rimbunan hutan hijau yang kemudian di terpa sinar keemasan cahaya pagi terasa cukup untuk membuatny terhenyak. Ia lalu berbalik, mengangkat kakinya pelan. Sepatu kulit berwarna hitam yang membungkus kakinya menginjak pada permadani merah pembungkus lantai. Ia beranjak pada sebuah lemari di samping pintu yang terletak tak begitu jauh darinya. Lengannya yang panjang kemudian meraih sebuah buku bersampul hitam tebal, di bukanya lembar demi lembar buku berkertas coklat muda dan nampak usang itu perlahan, setelahnya ia beranjak ke salah satu kursi untuk duduk.

"Tuan" panggil Frankenstein dari ujung pintu. seperti biasanya di tangannya ia sudah membawa nampan berwarna emas yang berisi teko teh putih dan sebuah gelas keramik. Untuk sesaat, Raizel melirik dari celah pandangannya, diam saja tanpa menyahut.

"Saya membawakan teh anda" dengan tenang Frankenstein kemudian menuang teh itu dalam gelas, uap panans menyembul kemudian menghilang dalam udara pagi yang terasa dingin dan sepi. Hanya sesekali suara kicau burung penyemangat suasana yang memecah sunyi saat itu.

"Ini satu-satunya buku yang tersisa, sejak tidak ada lagi sejarah yang tersisa mengenai aku maupun Zhielle" ucapan itu tergelincir begitu saja dari bibir Raizel, membuat Frankenstein diam saja dan memilih sebatas mendengarkan.

Mata Raizel menatapi buku di taangannya dengan perasaan menerawang, seolah masa lalu terasa seperti kemarin meski kenyataannya ia hidup sudah sangat lama.

"Aku hidup sudah sangat lama," Raizel menghelakan nafasnya dalam sebelum melanjutkan kembali hal yang ingin di utarakannya "Kemudian suata hari dengan memberikan setetes darah dan beberapa ratus tahun usiaku, aku membuat Zhielle ada. Kami hidup dengan cara yang sama, dan membagi kehidupan yang tak jauh beda, tapi Zhielle seperti mengambil sisi lain dari diriku yang tak pernah bisa kutunjukkan dengan baik. Dia adalah bagian dariku yang selalu kurindukan" akunya.

Sementara Frankenstein menatap Raizel dengan prihatin, namun tak kuasa menghibur karena dirinya pun sama sedihnya.

"Aku tahu, bukan hanya aku yang merasakan hal yang sama?" pandangan Raizel ia tujukan pada Frankenstein yang kemudian hanya mampu terdiam lalu membatu.

***

Karena sudah tidak ada hal lagi yang bisa ia lakukan di mansion Raizel. Frankentein memutuskan untuk pergi berjalan-jalan di sekitar hutan lebat Lukedonia, di salah satu sudut hutan yang terang oleh terpa mentari dan sejuk oleh semilir angin siang, tanpa sengaja ia bertemu dengan Gejutel. Mereka bersikap tak saling benci namun, tak juga saling dekat. Hanya saling mengamati beberapa detik yang singkat.

"Kelihatannya, kau punya banyak waktu senggang?" buka pria tua itu penuh wibawah. Frankenstein melempar tatapan dinginnya ke arah lain

"Sayangnya begitu"

"Kau dan tuan Raizel akan pulang dengan harapan yang tak sampai" ia mendekatkan dirinya, berdiri bersebelahan pria berambut pirang yang beberapa helai rambutnya di terbangkan angin

"Aku pikir tuanku lebih sedih dariku" balasnya dengan nada tercekat

"Itu wajar saja, bagaimanapun mereka adalah saudara"

"Aku rasa tidak sepenuhya benar begitu" timpal Frankenstein kemudian menilik ke arah Gejutel

"Apakah dia berbicara sesuatu padamu?"

"Kurasa kau juga tahu, jika kau hidup dalam masa yang mungkin sama dengan mereka" angin kembali berdesir, menyentuh tiap dahan pohon hingga bunyi khas daun meramaikan sunyi. Gejutel menutup matanya sejenak, kemudian menatap tanah coklat yang di tutup rumput kehijauan yang terhampar luas, seperti permadani.

"Itu sejarah lama, hampir tidak ada yang tahu mengenai hal itu selain para kepala keluarga maupun tetua terdahulu. Mereka berada di garis darah yang sama, tapi tetap saja dia bukan seorang vampir murni. Karena itu, dia tidak berdiri pada garis sebagai kepala keluarga, namun menghormati Raizel dia tetap mendapat tempat maupun nama mengikuti nama Tuan Raizel. Cadis Etrama Zi elleriel Sowska"

"Sekarang aku pikir aku mengerti, kenapa dia lebih lemah dibandingkan yang lainnya"

"Ikut aku!" Gejutel beranjak leih dulu. Frankenstein mengamati beberapa detik, lalu mengikuti langkah dari pria tua di depannya tanpa banyak berkomentar, meski ia sendiri di liputi pertanyaan kemana Gejutel akan membawanya.

Mereka melintasi jalan setapak di tengah hutan, menginjaki rumputan hijau yang terus menari ketika angin mebuai helaian daun mereka. Saat tak jauh mata memadang, beberapa langkah di depan mereka yang diliputi pohon hijau, ada sebuah gedung besar terututup gerbang besi berwarna coklat yang di tumpu tembok berwarna putih. Tiap ujung pagar meruncing tajam, berkilau di timpa cahaya matahari pagi.

Mereka berjalan semakin mendekat bangunan berwarna abu-abu kecoklatan yang dari jauh begitu megah dengan 4 tiang tingginya menyangga kubah bangunan berbentuk segitiga memanajang. tertumpu sekitar anak tangga di depannya, tak ada jendela, hanya lubang-lubang ventilasi aneka betuk di mana matahari akan menyusup masuk saat terbit maupun saat tenggelam.

Langkah mereka beriringan, menembus lorong yang remang tanpa penerangan.

Tiap langkah mereka melewati batu berwarna abu-abu yang disusun rapat tanpa pintu di sekitar lorong, hanya penyekat dari batu dengan susunan bentuk beraneka ragam yang mana saat mata mencoba mengintip, akan di dapati bayangan hutan hijau.

Mereka tiba pada ujung tangga berwarna putih. Frankenstein masih mengikuti Gejutel, namun ia tak menanyakan untuk apa bangunan demikian, dan mengapa ia sampai harus di bawa ke tempat itu. Sekali lagi, mereka berdua harus melewati lorong dengan penyekat batu, di antara celahnya mata Frankenstein mengintip masuk ke dalam sebuah ruangan megah dan luas di mana sepanjang ruangan itu telah berjejer rapi kursi-kursi kayu berwarna hitam yang memanjang dengan di depannya ada sebuah patung besar seorang wanita mengenakan tudung kepala sambil memegang sebuah kendi air di tangannya yang mengeluarkan guyuran bening yang berkilau.

"Di sini" kata Gejutel di ujung pintu sambil ia menatap sebuah peti mati hitam yang tertutup bunga. terletak tepat di depan kolam air di bawah patung wanita berwarna coklat.

"Tempat apa ini?" buka Frankenstein mengikuti langkah pria itu lagi

"Ruang suci milik lord terdahulu" mata biruFrankenstein mengamati seksama ruangan itu, membuatnya mendapati suasana heningdan mistis yang kemudian menyergap perasaanya. Iris     

Fanfic Frankenstein Love Story season 3 (Selesai)Where stories live. Discover now