Part 3

530 41 13
                                    

      Beberapa hari setelahnya, Frankenstein mengetahui bahwa kursi yang seharusnya membawa Zhielle meninggalkan Seoul kosong. Ia tak mendapat kabar apa pun dan tak mengetahui keberadaan gadis itu. Ia merasa sedikit cemas, meski begitu ia tak bisa menghubunginya karena Zhielle tak memiliki ponsel lagi.

Suatu siang, ketika ia tengah berpikir di depan komputer di ruang kerjanya Tao datang dengan membawa sebuah amplop di tangannya. Frankenstein tak menyadari kedatangannya sampai pria berambut panjang itu memanggilnya. Frankenstein lantas melirik sebentar, dengan reflek tak begitu tertarik.

"Aku datang membawa surat dari orangtua siswa tempo hari" buka Takio. Buku jemari Frankenstein bertaut di antara dagunya.

"Lalu" balasnya dengan malas sambil melirik sesekali ke layar komputernya.

"Mereka menyanyakan alamat Zhielle ke sekolah. Surat tuntutan padanya akan dikirim dalam minggu ini"

"Kau sudah melarang wanita itu masuk kan?" Takio mengangguk, lalu menatap sejenak ke arah amplop ditangannya.

"Tapi dia mengirim protes karena anaknya telah dikeluarkan dari sekolah" amplop itu diletakkan di atas meja Frankenstein. Ia meraihnya, belum sempat amplop itu dibuka ia merobeknya dengan segera.

"Kalau dia datang lagi usir saja, mengenai alamat katakan kita tidak menyimpan alamat pasti" Takio mengangguk, meski begitu terlihat jelas di raut wajahnya ada sebuah pertanyaan yang ingin ia tanyakan, walau begitu ada rasa enggan dan tak enak di waktu yang sama, membuatnya tak berani bertanya.

Frankenstein menyadari raut muka sekaligus tatapan Takio, meski ia tak memerhatikannya sama sekali.

"Dia menghilang, aku tidak tahu dia pergi kemana" sedikit terkejut, Takio tanpa sadar bergumam lirih.

"Apa seseorang menculiknya lagi seperti temp hari?" perhatian Frankenstein dengan sorot mata tegas memandangi Takio, hingga ia nampak salah tingkah.

"Kalau begitu akan lebih muda karena aku tahu, tapi aku tidak tahu apa pun sekarang. Tidak sama sekali..."

"Kau ingin kami membantumu menemukannya?"

"Tidak, kembalilah ke pekerjaanmu!" Takio mengerti. Ia bisa melihat raut muka tak senang di wajahnya. Hingga itu ia lebih mengerti dan meninggalkan ruangan Frankenstein.

Saat menyendiri tersebut, Frankentein kembali terdiam. Ia terpaku, lalu membuang napas tak nyaman. Ia mencoba kembali mengkonsentrasikan pikiran pada sejumlah pekerjaan di depannya, namun baru beberapa menit ia bergeming lagi, lantas berdiri dan berjalan menuju ke jendela di belakangnya.

Dari kejauhan, ia memandangi kesibukan siswanya sedang berolahraga di lapangan. Tak terbersit apa pun di wajahnya, selain kesan tanpa tenaga yang selalu nampak. Tanpa sadar ia menggumamkan nama Zhielle.

**

Gadis itu membuka mata buru-buru dengan napas memburu. Wajahnya nampak terkejut, sepasang jemarinya mencengkram selimut kuat-kuat.

"Frankenstein..."

Pria yang ia sebutkan namanya masih berdiri di depan jendela. Menatap sinar matahari dengan kesedihan mendalam.

"Kau pernah berkata padaku, kalau aku menyebut namamu di manapun kau akan datang. Aku tahu tau bohong jadi aku tidak mau memanggil namamu. Kebencianku ini begitu dalam sekarang, dan aku merasa semakin benci karena harus menghadapi rasa benciku"

Zhielle berlari melewati tangga batu, lorong-lorong kosong di sepanjang mansion Raizel dengan wajah tak sabar. Ia terus berlari sampai kemudian berhenti di depan pintu merah menuju ke luar mansion. Ia membukanya segera dengan wajah penuh harap seolah sedang menunggu kedatangan seseorang. Namun, ketika menarik kedua pintu tersebut, yang ia dapati hanya angin malam dan kegelapan Lukedonia yang suram.

Fanfic Frankenstein Love Story season 3 (Selesai)Where stories live. Discover now