Bertemu Lascrea End

797 73 5
                                    

Suasana makin memanas, lalu tanpa di duga dari ujung pintu muncul bayangan Gejutel. Pria itu beranjak tanpa ekspresi berarti, seoalah tak terpengaruh atmosfer tegang di tempat itu.

"Lord" katanya memberi hormat pada Lascrea

"Apa kau juga akan berusaha menghentikanku Gejutel?" timpal Lascrea dengan wajah bekunya. Memperhatikan pria tua yang berdiri di sebelah Frankenstein.

"Tidak, anda adalah lord. Anda bisa melakukan apa pun yang anda inginkan" Frankenstein menatap marah ke arahnya. Tak menduga ucapan tak peduli itu bisa meluncur dari mulutnya

"Bagaimana bisa kau berkata seperti itu" kedua tangan Frankenstein mengepal, menahan emosi yang menggelayut dalam dadanya. Tapi Gejutel tidak peduli, bahkan tak meliriknya sama sekali.

"Anda bisa menghukumnya, tapi dia bukan lagi bagian dari Lukedonia. Kenyataannya dia tidak bisa disebut sebagai vampir, maupun mutan, bukan manusia atau werewolf. Dia bukan apa-apa atau siapa-siapa. Kalau ia kembali itu hanya karena keinginan lord terdahulu yang memerintahkannya demikian, dan saya pikir anda tahu akan hal itu juga" Lascrea nampak merenung dengan tatapan hampa. Ia hanya menatap ke arah lantai tertutup ubin merah gelap.

"Kalian semua pergilah!" perintahnya setelah terdiam beberapa lama. Semua orang meninggalkan ruangan lord serempak kecuali Frankenstein yang bereming. Sementara Gejutel melirikinya, memberinya isyarat agar patuh pada perintah lord.

"Ayo Frankenstein" pria itu masih terpaku dan mengerucutkan mata ke arah lord. Otot di sekitar wajahnya masih tegang.

"Keluarlah sendiri" balasnya dengan nada ketus. Kebiasaannya kala marah.

"Mereka perlu bicara, kita tidak ada hubungannya dengan hal itu" Gejutel menimpali dengan setenang mungkin. Ia tahu seberapa keras kepalanya Frankenstein ketika marah.

"Lord akan membunuhnya" gemertak gigi Frankenstein bersuara seiring ucapannya barusan.

"Percayalah lord tidak akan lakukan itu. Ikut aku atau masalah ini tidak akan pernah selesai... Selamanya" dengan raut wajah bimbang Frankenstein berpikir keras. Wajahnya sama sekali jauh dari ketenangan, terselubungi rasa cemas dan khawatir yang tak bisa di sembunyikannya.

Butuh waktu beberapa menit untuk meyakinkan dirinya dan mengambil keputusan. Meski dengan agak ragu, ia berbalik dan mengendurkan kekerasan hatinya. Mereka berdua kompak berjalan keluar bersama-sama. dan pintu menutup secara pelahan-lahan dan menututp tempat itu daam kegelapan. Dari iris matanya, Frankenstein memandangi Zhielle, ia tidak tahu apa yang akan terjadi sesudahnya saat pintu itu membuka lagi.

Hanya tersisa Zhielle dan Lascrea. Gadis berambut hitam itu mulai melunak. Ia menurunkan pedangnya perlahan-lahan ke sisi samping tubuhnya. Suasana terasa sunyi sama sekali di ruangan temaram itu.

"Apa yang terjadi ketika itu?" buka Lascrea masih dengan sikap acuh tak acuh.

"Tidak terjadi apa-apa" timpal zhielle mengacuhan

"Aku mendapat kabar dari Seira dan Regis tentag apa yang sudah terjadi. Urokai mengakui semuanya" mereka berdua kompak saling meliriki, mencoba menangkap semua ekspresi yang tergambar di wajah masing-masing.

"Apa itu benar?" Zhielle berbalik keseluruhan badan dan memandangi Lascrea yang nampak menuntut dengan wajah sedih dan marah yang bercampur. Tapi selalu coba tak ditampilkannya terang-terangan.

"Aku tidak ingin menjawab apa pun. Bagiku aku sudah dibuang dan bukan lagi bagian dari Lukedonia. Aku tidak pernah menyalahkan siapa pun untuk keputusanku"

"Jadi kau menyetujui semuanya"

"Lascrea" gadis itu berbalik punggung, tak ingin sama sekali melihat wajah Zhielle sedikit pun.

"Satu-satunya yang tidak kumengerti adalah kenapa lord terdahulu begitu mempertahankanmu. Bahkan dia membawamu kembali dan membuatku berada dalam posisi yang salah. Pergilah besok, sebelum aku berubah pikiran" tukasnya lalu beranjak menuju ke kursi singgasananya disertai perasaan hambar yang sulit terjelaskan.

Tak ada lagi yang bisa dijelaskan oleh Zhielle, bagaimana pun sebagai mantan gurunya ia mengerti perasaan Lascrea kala itu. dengan langkah panjang ia sudah berdiri di muka pintu yang memuka lebar. Membawa semua cahaya masuk keruangan yang besar tapi hampa sekaligus muram tersebut.

Di sana ia sudah mendapati tatapan asing, heran, terkejut yang bercampur dan hanya tertuju padanya. Zhielle menarik tudung kepalanya untuk menutup wajahnya. Ia beranjak pergi, lagipula Frankenstein juga tak di sana, entah kemana ia dan Frankenstein pergi, Zhielle juga tidak peduli. Ada sesuatu yang kini mengganjal pikirannya dan relung batinnya.

Rok hitamnya berkibar di terpa angin saat melewati koridor demi koridor, di ujung ruangan menuju pintu keluar, sudah berdiri Frankenstein di sana seorang diri. Sedang berdiri menyenderkan punggung pada batuan merah yang tersusun rapi di belakangnya. Ia mendongak seiring mendengar langkah kaki mendekat ke arahnya. Zhielle tak mengacuhkan Frankenstein, tak mengacuhkan semua orang. Suatu hal yang sudah pasti ia lakukan saat sedang merasa marah.

Batin frankenstein tergelitik. Ia langsung menarik lengan Zhielle mendekat ke arahnya. Ia berdiri di depan Frankenstein, bersampingan jendela mansion berbentuk setengah melingkar. Dari luar suasana gelap mulai merayap di atas langit.

"Apa yang di katakan lord padamu?" tanyanya penasaran

"Lascrea tidak mengatakan apa-apa" tegas Zhielle dengan menekan

"Jika dia tidak mengatakan apa pun, kenapa kau marah? Kenapa lehermu terluka" Zhielle memandangi wajah pria itu yang memperlihatkan kecemasan.

"Aku tidak ingin membicarakan ini sekarang. Ada waktu sendiri di mana aku ingin mengatakannya. Aku hanya ingin bertemu kakakku"

Frankenstein melepaskan lengan Zhielle. Ia menyerah untuk menuntut jawaban Zhielle.

"Aku mengerti"

Mereka berdua keluar dari mansion bersama-sama dan berangkat ke tempat Raizel sambil menembus malam gelap dan selubung rapat hutan yang tak lagi berwarna hijau tapi gelap, sepenuhnya gelap seperti tertutupi bayang-bayang.

Di ujung pintu ruangan Raizel, mata mereka saling tatap. Ada rasa ragu melintas di mata Zhielle saat itu, namun jemarinya yang lentik dengan pasti memegangi gagang pintu.

Ia kembali memandangi pintu merah di depan matanya. Dengan membuang nafas yang serasa mengganjal tenggorokannya ia mulai mendorong pintu itu. membuka celah segaris hingga makin lebar dan menunjukkan sepenuhnya ruangan yang tertutup kertas dinding coklat.

Di sebuah kursi berwarna merah yang memunggungi pintu nampak puncak kepala Raizel, sedang memandag keluar jendela. Pria tenang itu tak bergeming meski ia tahu ketika itu pintu terbuka lebar-leebar dengan cahaya membentur tepat di muka dinding samping jendela, membentuk sosok bayangan seseorang.

"Kakak" panggil Zhielle pelan sekali seraya menyeret langkahnya ke arah Raizel. Raut wajah tenangnya menengok sesaat ketika Zhielle sudah berada di sampingya. Memandanginya penuh rasa rindu dan tatapan haru berkaca-kaca. Sebaliknya Raizel tetap dan memandangi Zhielle tanpa bicara. Hanya matanya yang mengedip beberapa kali dalam kebisuan.

Dengan sedikit gemetar, Zhielle meraih lengan Raizel di atas pegangan kursi. Tubuhnya terduduk di topang kedua lututnya. Ia menggengam jari-jari Raizel kuat-kuat sambil mengamati wajahnya penuh haru.

"Apa kau baik-baik saja?" tukas Zhielle padanya. Untuk sesaat Raizel masih terpaku dalam diam dan kebisuan yang selalu ia tampakkan. Tak lama ia menimpali dengan anggukan kecil.

"Lehermu terluka?" balasnya sejurus kemudian. Zhielle bergeleng dengan butiran air mata menggantung di kulit pipinya.

"Tidak, aku. Ini hanya tergores, tidak apa-apa. Aku senang kau baik-baik saja" sebaris senyum tergambar di antara air matanya yang menggantung di sudut bibir Zhielle.

"Kau kembali"

"Iya" Zhielle mencium lembut jemari Raizel. Pemandangan itu tergambar dalam iris biru Frankenstein. Ia nampak priahatin dan tersentuh. Dari sebaris garis pintu itu kemudian ia menutupnya rapat-rapat dan meninggalkan ruangan Raizel, membiarkan mereka berdua melepas rasa rindu sebagai keluarga yang sempat berpisah lama.

Fanfic Frankenstein Love Story season 3 (Selesai)Where stories live. Discover now