Enam Tahun

653 56 13
                                    

       Sudah enam tahun berlalu sejak hari ketika Zhielle pergi. Aku menutup semua hal mengenai dirinya, tidak nama maupun gambar wajahnya tidak pernah ditemukan ditiap sudut rumah. aku membangun tempat persembunyian baru, tempat di mana aku tidak perlu berhadapan dan bercengkrama dengan kejadian dulu. Sekarang hidupku tidak pernah lagi sama. Aku bekerja 10 jam sehari, setelah membangun sebuah kampus tempat untuk tuan bisa berkuliah dengan teman-teman manusianya yang lain, dan sebuah sekolah untuk Razel.

Razel tumbuh dengan baik, bersikap cukup mandiri. Dia tidak pernah rewel, bertanya hal yang tidak kusukai dan hanya belajar apa yang ia senangi. Dia baru akan datang padaku ketika ada sebuah teori kimia yang tidak dia mengerti. Benar, Razel tumbuh lebih cerdas dibandingkan anak seusianya.

Aku jarang mengobrol dengannya di meja makan, tidak berbicara lebih dari 30 menit sehari dan tidak sekalipun pernah mengajaknya berjalan-jalan. Jika ada tempat yang mau ia datangi, dia bisa pergi dengan Tao, Takio, Seira, Tuan dan yang lainnya. Aku tidak merasa membencinya, hanya saja tidak ada waktu untuk menemaninya. Sisa waktuku kuhabiskan untuk berada di laboratorium.

Pintu ruanganku diketuk, Razel mencul dengan tshirt putih dan celana kargo hijau selutut. Rambut keemasannya ia biarkan menjuntai di antara matanya, mata yang memiliki warna biru laut sepertiku. Kami sangat mirip, sampai-sampai hanya dengan melihat dan semua orang akan tahu kalau dia adalah puteraku.

"Aku datang, ayah!"

"Duduklah!" kataku sambil sesekali melirik layar komputer.

Ia meletakkan tas selempang hitamnya di kursi, duduk di sana dengan tenang bersama sebuah buku tebal yang kuhadiahkan seminggu lalu.

"Gurumu datang mengeluh padaku, dia bilang kau bersikap tidak sopan dalam mata pelajarannya"

Kelopak matanya mengedip, menatap lurus ke arah lembaran buku "Dia bertanya hal yang tidak bisa kujawab"

"Apa itu?"

"Aku tidak bisa membicarakannya!" mendengar jawaban darinya membuatku tidak bisa memaksa lebih jauh.

"Baiklah kalau begitu" aku kembali sibuk pada tumpukan pekerjaanku, yang makin lama makin banyak tidak peduli seberapa besar apa aku mencoba menguranginya.

"Ayah!" aku menjawab panggilannya dengan gumam singkat "aku sudah bisa menyikat gigiku sendiri dengan rajin, aku juga belajar dari Paman Tao cara mengikat sepatu. Sekarang aku juga sudah tidak ngompol lagi"

"Benarkah?"

"Aku dengar teman-temanku selalu mendapat hadiah saat mereka melakukan hal kecil seperti itu" aku menengok ke arahnya. Jari-jari kecilnya mencengkram sampul buku, sedikit lebih resah meski dia mengalihkannya dengan menatap buku itu lebih lagi.

"Apa kau juga menginginkan hadiah?"

Dia berpaling ke arahku dengan sorot mata bimbang yang takut bertemu mata denganku, "Mari kita jalan-jalan, makan es krim di samping rumah juga tidak apa-apa, atau duduk di taman samping sekolah"

Kusenderkan punggung di belakang kursi sembari berpikir sebentar. Melirik arah jam tanganku, sudah menunjuk jam 02.00 siang. Rapat sudah menungguku sekitar setengah jam lagi. Aku berdecak singkat, tidak begitu suka apa yang dia suka. Apa yang disukai Razel terlalu mirip ibunya, kali ini pun aku mau menghindar, "Aku akan menelpon Bibi Seira, tunggu dia di taman. Aku ada rapat sebentar lagi"

Razel diam saja, dia mengatup bukunya dan memasukkannya dalam tas mungil yang dia bawa, "Aku mengerti, aku akan menunggu bibi di sana!" ia menutup pintu dan meninggalkanruanganku tanpa ekspresi. Kenapa sikap kakunya mirip denganku? Dia masih enam tahun, seharusnya bertingkah lebih cair. Aku mengeluhkan ini pada Seira dan dia memintaku bicara pada Razel, tapi aku tidak pernah punya waktu untuk mengungkit hal itu dengannya.

Fanfic Frankenstein Love Story season 3 (Selesai)Where stories live. Discover now