Kembang Api

559 41 6
                                    

      Meski obat telah disuntikkan ke dalam tubuh Zhielle, butuh waktu beberapa lama untuk mengawasi kondisinya dan memastikan ia akan baik-baik saja dan mampu melalui masa sulit dalam melawan reaksi obat. Selama itu pula, Frankenstein tetap berada di sisinya, memegang tangan dan menyeka rambutnya penuh perhatian. Ia terus berjaga, hingga malam berganti pagi berikutnya. Sayangnya sekalipun ia telah menunggu lama, tak nampak perubahan dari kondisi wanita itu.

Frankenstein terjebak lagi dalam keresahan. Lelah yang menderanya, seolah tak ia peduli. Kepalanya terus berpikir bersama langkah mondar-mandir dalam ruangan. Bertanya-tanya, pengobatan mana yang biasa ia lakukan untuk bisa menyelamatkan Zhielle.

Kesabarannya menghilang dalam menunggu hal tidak pasti. Ia meninggalkan kamar tersebut menuju ke sebuah perpustakaan yang berada di lantai bawah. Dari sana ia membawa sekumpulan buku menuju ke dalam laboratorium.

Tumpukan buku tebal yang hampir setinggi bahu ia letakkan di samping meja komputer. Frankenstein duduk di sana, membaca lembar demi lembar dengan terburu-buru, kemudian menyalakan komputer, mengetik sesuatu penuh perhatian seolah hanya itu dunianya kini.

Zhielle terbaring pucat, ia masih belum membuka mata ketika Raizel masuk kedalam kamarnya, menyapu kening gadis itu beberapa kali dengan lembut. Jemari lentik Zhielle bergerak pelan, ia menarik napas dalam, sebelum kemudian membuka mata.

Ia berpaling ke arah Raizel yang memandangnya tanpa bicara. Zhielle meraih jemari laki-laki berambut gelap tersebut, sambil menghatur senyum hangat.

"Apa kau baik-baik saja?" tukas Raizel pertama kali. Gadis itu mengangguk pelan.

Dari balik pintu tiba-tiba muncul Frankenstein yang memasuki ruangan terburu-buru, membuat perhatian keduanya teralih.

Pria berbadan tegap itu terkejut, sekaligus lega ketika tatapannya tertuju pada gadis berambut cokelat yang sedang terbaring lemah itu, yang rupanya telah membuka mata. Frankenstein baru tersadar ada Raizel di sana setelah beberapa detik terdiam. Ia membungkuk memberi hormat padanya.

"Maafkan saya, saya akan keluar!"

Kembali hanya mereka berdua. Sambil mengatur napasnya yang lemah dan dangkal, Zhielle menyapa Raizel.

"Sejak kembali kita tidak memiliki banyak waktu untuk bicara. Aku senang kau datang kemari! Apa kau tahu, kemarin aku pergi berjalan-jalan dan melihat musim gugur yang sangat indah. Daun-daun warnanya berubah menjadi jingga cerah, tapi sayang daun-daun itu jatuh ke tanah. Kecantikan adalah hal yang paling sulit bertahan, bukankah begitu? Aku ingin kau juga bisa keluar berjalan-jalan dan melihat pemandangan indah yang sama dengan yang pernah kulihat. Apa kau mau?" Raizel tersenyum, mengangguk menimpali. Kembali tangan Zhielle makin mengeratkan genggaman.

"Raizel, aku tidak yakin akan bertahan berapa lama lagi. Tapi apa pun yang terjadi, bahkan ketika aku sedang sakit, aku harap kau tidak datang melihatku, karena aku tidak ingin membuatmu bersedih seperti sekarang! Maafkan aku" Raizel diam saja, sepasang bola matanya menyendu menahan kesedihan yang muncul tiba-tiba. Zhielle membelai pipinya.

"Sepertinya aku meminta hal yang sulit lagi bagimu" Raizel lantas berdiri tanpa mengatakan apa pun.

Dibalik pintu Frankenstein menunggu. Ia memberi hormat ketika melihat kedatangan tuannya.

"Masuklah!" kata Raizel dengan mimik muka murung. Belum sempat Frankenstein bertanya pria itu berlalu pergi.

Jemari Zhielle mengulur menyambut Frankenstein. Lelaki tersebut berjalan ke sisinya lalu memegang tangan itu dengan hangat.

"Apa kau baik-baik saja?" Zhielle tak mengatakan apa pun. Untuk pertama kalinya Frankenstein menangkap ada hal yang buruk yang terjadi. Dan itu membuat ia menyadari penyebab kesedihan di wajah tuannya.

Fanfic Frankenstein Love Story season 3 (Selesai)Where stories live. Discover now