Dua Belas

907 63 4
                                    

Zhielle dan Frankenstein berjalan beriringan menembus jalan kota. Pagi itu sangat ramai saat mereka melintas di depan deretan toko yang sedang sibuk menjajalkan barang dagangan di etalase maupun yang ditawarkan langsung oleh para sales di depan toko pada para pejalan kaki. Rute ini sudah merupakan rute umumyang memang harus di tempuh untuk sampai ke SMA Ye Ran dari rumah yang mereka tinggali. Di sekitar jalan pun sudah nampak anak-anak berseragam dari SMA swasta yang dianggap sebagai salah satu sekolah terbaik di Seoul namun dengan harga pendidikan yang murah dan bisa dijangkau siapa saja, tak heran ada juga siswa yang berasal dari keluarga biasa bisa menyekolahkan anak mereka di sekolah tersebut dengan penuh rasa bangga.

Meski kepala sekolah SMA itu cukup mapan namun pria bermata biru itu tak begitu senang mengendarai mobil, kecuali dalam perjalanan yang cukup jauh. Karena itu ia memilih untuk tinggal di kawasan perumahan yang tak jauh dari sekolah. Pria yang menyembunyikan identitas pribadinya dan nampak selalu ramah pada semua orang dengan menampilkan senyum menarik yang menampilkan deretan giginya yang putih. Tidak ada yang tahu usia sebenarnya, semua orang hanya akan menduga kalau ia pria muda tampan berusia 25 tahunan. Pria itu membua Zhielle meliriknya ketika para gadis mulai memandanginya dengan rasa kagum. Frankenstein menyadari arah tatapan mata yang mengganggunya itu, namun ia tak lekas melirik.

"Ada apa denganmu?" Zhielle menghentikan gerak langkahnya dengan tiba-tiba di tengah jam sibuk kerja tersebut. Frankenstein berbalik dan memandangnya sekilas.

"Masuklah ke kantongku!" jemari Zhielle menunjuk ke arah tasnya. Tanpa canggung ia duduk berjongkok sambil membuka tas besarnya yang berwara hitam dan menatap penuh harap ke arah Frankenstein. Laki-laki itu tidak mengerti apa lagi yang dipikirkan gadis itu. ia membuang nafas berat, sebagai bentuk kebingungannya saat itu.

"Apa kau sudah gila?" gadis itu menggeleng lalu melirik semua gadis di sekitarnya dengan wajah frustasi. Tatapan mata mereka dengan wajah melongo adalah hal yang paling membuatnya terintimidasi. Walaupun dia juga begitu cantik dengan wajahnya yang khas wanita Eropa dengan penampilan seperti boneka hidup. Dia tetap seorang gadis yang lebih muda frustasi dalam hal cinta. Jawaban pria itu membuantya bangkit segera dan menarik Frankenstein menjauh dari arah kerumunan menuju ke taman yang terletak tak jauh dari sekolah. Di sana mereka berhenti dengan berteduh di bawah pohon mapel berdaun hijau yang akan berubah merah ketika September. Di bawah pohon ada sebuah bangku taman berwarna coklat. Zhielle menarik lengan Frankenstein duduk di dekatnya. Suasana di taman itu tak begitu ramai sehingga mereka bisa berbincang tanpa perlu takut ada yang mengganggu karena hanya ada orang-orang lewat di luar taman. Gadis itu bersyukur, ia membuang nafas lega, sementara Frakenstein masih bertanya-tanya dan mulai kehilangan kesabaran.

"Ada apa denganmu? Kita harus segera ke sekolah! Sudah kukatakan, jika kau tidak enak badan sebaiknya tidak perlu memaksakan diri!" sekali lagi, iris berwarna merah itu memandanginya. Ia sedang berpikir untuk jawaban yang akan dilontarkannya, walaupun itu terdengar tidak begitu masuk akal untuk pria itu.

"Aku sudah bilang, masuklah ke dalam kantongku! Apa kau tidak melihat bagaimana para wanita itu melihatmu? Mereka mirip seperti serigala lapar yang akan menerkammu, ini benar-benar membuatku menderita," Frankenstein hanya mendengarkan keluahan penuh rasa putus asa itu "Kau kan bisa membuat apa saja, kenapa tidak membuat obat agar kau bisa berbentuk seperti Tumbelina dan masuk dalam tasku, dengan begitu para gadis itu tidak akan memandangmu lagi!" Frankenstein merasa bingung mendengar permintaan konyol seperti itu, tapi bukan pertama kali itu ia mendapat permintaan aneh dari Zhielle. yang harus dilakukannya adalah memberi gadis itu pengertian, hal biasa yang sudah sering ia lakukan.

"Pertama, permintaanmu itu tidak masuk akal dan kedua kau terlalu mencemaskan hal-hal yang tidak perlu!" jawaban itu begitu santai, membuat Zhielle tidak terima begitu saja. Ia meletakkan jemarinya di wajah Frankenstein dengan tiba-tiba hingga pria itu sedikit terkejut. Mata mereka saling menatap, tapi ekspresi Zhielle lebih aneh, matanya membelalak. Gadis itu sedang begitu penasaran pada sesuatu dan hal itu harus ditanyakannya segera pada pria itu.

Fanfic Frankenstein Love Story season 3 (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang