Prolog

97.5K 5.4K 250
                                    

Selasa (12.43), 05 Maret 2019

Sudah tersedia di playstore dengan kata kunci aya emily plus 7 extra bab.

Tersedia juga di Karyakarsa Aya Emily. Bisa pilih untuk baca extra babnya saja.

Happy reading ❤

----------------------

Mata Ellen Alodie berbinar saat memandang sekitar jalan utama di kota kecil tempatnya dibesarkan. Enam tahun sudah dirinya pergi untuk mencari ilmu di sekolah favoritnya. Tiga tahun pertama, Ellen masih sering pulang karena merindukan kampung halaman dan keluarganya. Namun dua tahun terakhir, dia nyaris tidak pernah pulang. Ada impian yang ingin diwujudkannya. Dan Ellen harus bekerja keras untuk menggapainya.

Kini dia memiliki satu bulan penuh untuk bersantai. Dan Ellen memilih kota kecil kesayangannya sebagai tempat menghabiskan waktu.

Taksi yang membawanya melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan. Senyum tidak lepas dari bibir Ellen, membayangkan apa saja yang akan dia lakukan setelah beristirahat sejenak di rumah orang tuanya.

Laju taksi melambat lalu berhenti di lampu merah. Ellen memanfaatkan hal itu untuk mengamati area pertokoan di pinggir jalan. Tapi tiba-tiba pandangannya terpaku pada seorang lelaki berperawakan tinggi kekar yang entah muncul dari mana lalu berdiri di pinggir jalan, tepat di dekat taksi yang ditumpangi Ellen berhenti, membuatnya bisa dengan leluasa mengamati sosok lelaki itu.

DEG.

Entah mengapa mendadak jantung Ellen berdebar tak karuan. Mungkin karena wajah tampannya yang tampak begitu angkuh. Bahkan di mata Ellen, luka memanjang yang melintang di dekat sudut mata hingga sudut bibir sebelah kiri lelaki itu tak tampak mengerikan. Malah membuatnya terlihat menggoda, seperti ngengat yang tergoda nyala api yang bisa membakarnya.

Atau karena mata birunya yang terlihat sangat jernih dan dalam. Bagai lautan penuh rahasia, memancing para pemberani menguak yang tersembunyi di baliknya sekaligus mengusir para pengecut menjauh.

Glek.

Tanpa sadar Ellen menelan ludah saat lelaki itu mengangkat tangan kekarnya lalu mendekatkan gelas plastik berisi minuman yang tampak mengepul ke bibirnya. Dia hanya mengenakan kaus tanpa lengan, seolah sengaja mempertontonkan otot-ototnya yang terbentuk sempurna.

Lalu mata biru itu mengarah padanya, membuat tubuh Ellen seketika membeku. Tangan lelaki itu masih terangkat, menahan bibir gelas tetap melekat di bibirnya sementara pandangannya intens mengarah pada Ellen.

Ellen tidak memalingkan wajah, seolah tersedot ke kedalaman mata biru itu. Jantungnya berdetak semakin kencang, bahkan ketika mobil kembali melaju membelah jalanan. Dan saat kesadaran kembali menguasai otaknya, Ellen mengerang menyadari bahwa kaca taksi yang ditumpanginya bukanlah kaca gelap, membuat dia bisa leluasa memandang apapun di luar dan begitu pula sebaliknya.

Oh, astaga! Semoga Ellen tidak meneteskan air liur saat menatap lelaki lezat itu tadi dan membuat lelaki itu berpikir dirinya maniak.

***

Dennis Anthony menurunkan gelas plastik berisi kopi panas yang dibelinya tadi dengan pandangan yang masih mengarah pada taksi itu. Keningnya berkerut, mencoba mengingat siapa wanita yang duduk di kursi belakang dan memandangnya tajam.

Dennis yakin wanita itu bukan salah satu warga sini. Ah, mungkin dia kerabat yang datang berkunjung atau hanya seseorang yang kebetulan lewat.

Tapi jujur saja, tatapannya sangat mengganggu. Wanita itu menatap dirinya dengan sorot—lapar?

Dennis berdecak malas lalu kembali meneguk kopi panas yang menjadi sarapannya. Sepertinya dirinya hanya berandai. Bukankah sejak tinggal di kota kecil ini setengah tahun yang lalu Dennis sudah biasa menjadi pusat perhatian? Bukan dalam arti kekaguman. Mereka yang memperhatikannya—baik diam-diam maupun terang-terangan—jelas menunjukkan perasaan ngeri. Entah itu pada wajah atau masa lalunya.

Grrr!

Selalu saja. Mengingat masa lalunya—meski hanya selintas—mampu membangkitkan amarah terpendam Dennis. Dia mencintai seorang wanita dengan sangat tulus. Menghabiskan waktu melindungi wanita itu dari kejauhan. Dan kemudian apa yang dirinya dapat? Pengkhianatan! Wanita itu mencintai lelaki lain dan akhirnya menjadi alasan Dennis mendekam di penjara.

Luka di hati Dennis masih menganga dan berdarah. Rasanya dia tidak mungkin bisa memaafkan perbuatan mereka padanya. Penjara yang dingin, pengap, dan penuh kekejaman membuat kegelapan dalam hati Dennis semakin membesar hingga terasa membungkusnya. Tak terhitung berapa kali dia membuat keributan dengan narapidana lain. Luka di pipinya adalah salah satu bukti kenekatannya yang seolah tak lagi memedulikan maut.

Tidak, Dennis tidak akan pernah memaafkan mereka. Dan tidak, dirinya tidak akan lagi membiarkan siapapun mendekat dalam hidupnya dan memasuki hatinya. Biar dia menikmati kesendiriannya di kota kecil ini untuk waktu yang tak terbatas.

-------------------------

~~>> Aya Emily <<~~

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang