35a

29.3K 3.7K 126
                                    

Sabtu (21.29), 31 Agustus 2019

---------------------------

Dennis terus merasa gelisah. Mereka belum juga mendapat kabar dari Xavier mengenai Ellen. Rasanya dia ingin sekali melompat dari atas ranjang pasien ini lalu menyerbu keluar dan mencari Ellen sendiri.

"Kak, tenangkan dirimu. Atau kondisimu akan memburuk. Aku tahu saat ini kau menahan nyeri di kepalamu."

Dennis mengabaikan ocehan Sintha. Pikrannya masih berkelana mengira-ngira di mana Ellen berada. Rasa nyeri di kepalanya hanya gangguan kecil jika dibandingkan kekhawatirannya akan keselamatan Ellen.

Ingatan Dennis melayang ke saat seseorang berusaha menembak Ellen. Jelas orang itu memang berniat membunuh Ellen. Kalau ternyata dia memiliki rekan, berarti saat ini Ellen—

"Argh!"

Seketika kepala Dennis berdenyut nyeri bagai dihantam batu besar. Dia meringis sambil memegang kepalanya dengan sebelah tangan.

"Sudah kubilang, kan!" seru Sintha antara marah dan khawatir. "Aku akan memanggil dokter."

"Tidak perlu," cegah Dennis sebelum Sintha keluar. "Aku baik-baik saja. Sudah tidak terasa sakit."

Sejenak Sintha memandang Dennis dengan tatapan tak percaya. Tapi kemudian dia menghela napas dan memilih duduk kembali di kursi samping ranjang Dennis.

"Sungguh kerasa kepala seperti biasa. Kapan kau mau mendengarkan orang lain, Kak?" omel Sintha. "Dulu juga karena keras kepala, kau berhasil menyakiti dirimu sendiri hingga berakhir di penjara."

Mungkin jika Sintha mengungkit hal itu sebelum Dennis menyerahkan hatinya pada Ellen, dia pasti akan sangat tersinggung. Tapi sekarang Dennis terkekeh geli mendengar ucapan sang adik.

"Dan karena keras kepala juga akhirnya aku bertemu Ellen." Sambil menyeringai geli Dennis membalas ucapan Sintha.

Seketika bibir Sintha mengerucut kesal. "Memang sudah takdir kalian untuk bertemu. Di mana pun kau berada, pasti kau akan tetap bertemu dengan Ellen."

"Dan sepertinya sifat keras kepalaku juga karena takdir."

"Ah, sudahlah!"

Dennis tergelak melihat raut kesal sang adik. Tapi itu tidak berlangsung lama. Begitu ingatannya mengenai Ellen kembali, kegelisahannya terlihat jelas.

Melihat raut sang Kakak, Sintha menyentuh punggung tangan Dennis, meremasnya lembut. "Ellen pasti baik-baik saja."

"Siapapun orang itu, dia mengincar Ellen. Dia ingin membunuh Ellen. Jika mendapat kesempatan, dia pasti akan langsung melakukannya tanpa berkedip."

Sintha menggigit bibir. Otak penulisnya berusaha merangkai. Jika benar yang dikatakan Dennis, bahkan dalam novel yang dibuatnya pun, Sintha yakin Ellen tidak akan selamat. Kecuali—

"Bukankah pelakunya sudah tertangkap, Kak? Orang yang menembakmu. Dia juga tertabrak mobil dan pingsan di jalanan."

"Benarkah?" Kening Dennis berkerut. Dia baru memikirkan itu. Yang diingatnya hanya sebatas tembakan yang diarahkan pada Ellen di pemakaman lalu pengejaran yang dilakukannya dan hujan peluru.

Tertabrak mobil?

Apa dirinya juga? Sebelumnya Dennis mengira dirinya di rumah sakit karena hujan peluru yang mengenainya. Dan dia tidak terlalu memikirkan kondisi dirinya sendiri karena fokus pada Ellen.

Dennis mengerutkan kening, berusaha mengingat. Hujan-hujan peluru dan aksinya berlari menembus hutan semakin tampak jelas dalam benaknya seolah baru terjadi. Ingatan itu terus bergerak hingga akhirnya Dennis bisa menangkap suara-suara mobil. Dia juga mulai mengingat dengan jelas saat dirinya berusaha mencapai orang itu. Lalu—

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang