22

29K 4K 276
                                    

Kamis (21.17), 02 Mei 2019

-------------------------

Ellen menuruni anak tangga dengan terburu-buru. Hari ini dia bertekad ke penjara dan tidak akan pulang sebelum dirinya bisa bertemu Dennis.

Ini sudah hari ketiga sejak ayah Ellen ditemukan meninggal. Berarti juga sudah tiga hari Dennis mendekam di penjara. Dan selama itu Ellen masih tidak bisa menemui Dennis.

Entah mengapa para polisi itu terus mencegahnya menemui Dennis. Ellen sudah tiga kali mencoba datang ke kantor polisi dan hasilnya sama. Dia terpaksa pulang dengan hati kecewa karena tidak sempat sekalipun berjumpa Dennis. Alasannya Dennis tidak boleh menerima tamu sampai tim forensik memberikan hasil penyelidikan.

Setelahnya Ellen disibukkan dengan pemakaman sang ayah. Duka Ellen begitu dalam. Dia masih tidak menyangka ayahnya pergi secepat ini. Bahkan sebelum beliau sempat melihat Ellen menikah. Padahal dulu ayahnya sering berkata ingin melihat Ellen menikah. Dia akan merasa bangga jika mendapat kesempatan menjadi orang yang menyerahkan Ellen kepada suaminya kelak.

Tapi... kini kesempatan itu tidak akan pernah datang. Hati Ellen begitu pedih membayangkan dirinya menikah tanpa sang ayah disampingnya. Tanpa sang ayah yang menggenggam tangannya dan menyalurkan kekuatan untuk menutupi perasaan gugup Ellen.

Tidak ada lagi ayah yang akan mendengarkan impian-impiannya. Tidak ada lagi ayah yang menjadi tempat Ellen berbagi cerita. Tidak ada lagi ayah yang akan memeluknya saat sedih. Tidak ada lagi ayah yang akan menghapus air matanya.

Semua ini begitu menyiksa. Rasa sakitnya begitu dalam menusuk hati tapi tak ada yang bisa Ellen lakukan untuk mengobatinya.

Rasanya Ellen ingin terus mengurung diri dalam kamar bersama kesedihannya hingga rasa sakit ini sirna. Tapi Ellen tidak bisa melakukan itu. Karena jika dia diam saja, pembunuh ayahnya tidak akan pernah tertangkap. Orang itu akan begitu bahagia di atas penderitaan sang ayah dan Dennis yang berhasil dia jadikan tersangka.

Tidak!

Ellen tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Dia akan berusaha membebaskan Dennis dan memastikan si pembunuh mendapat balasan setimpal, seperti yang dikatakan Henry.

Tiba di lantai pertama, Ellen berpapasan dengan Ellias yang kini tampak mengenakan setelan jas. Ellias tampak begitu gagah dan tampan. Seperti bos muda, meski sebenarnya ini pertama kalinya dia harus—terpaksa—turun tangan urusan perusahaan sang ayah.

"Ellias," panggil Ellen pelan.

Ellias yang tampak hendak menaiki tangga berhenti di depan sang kakak. "Hai. Kau mau pergi?"

Ellen mengangguk. Hatinya pedih melihat bagaimana Ellias berusaha tampak tegar. Dengan lembut Ellen meletakkan telapak tangannya di pipi Ellias. Tubuh jangkung sang adik membuat Ellen harus mengulurkan tangannya tinggi.

"Kau pasti bisa. Aku yakin kau bisa."

Ellias tersenyum sedih seraya mengangkat bahu dengan lunglai. "Entahlah. Aku tidak yakin sanggup menggantikan pekerjaan ayah. Aku sering berpikir akan mengacaukan semuanya."

"Itu tidak akan terjadi." Ellen melingkarkan lengannya di pinggang sang adik lalu memeluknya erat.

Ellias balas memeluk Ellen. "Aku akan melakukan semampuku." Lalu dia melepas pelukan dan menatap intens mata sang kakak. "Dan kau juga. Jangan mengubur impianmu karena semua ini. Ayah juga tidak menginginkannya."

Air mata Ellen menetes. "Aku hanya ingin mencari tahu siapa pembunuh ayah, El. Lalu memastikan dia dihukum berat."

"Sama sepertimu, aku juga menginginkannya. Karena itu aku merasa tak berguna. Kau harus berjuang sendirian sementara aku harus berkutat dengan setumpuk dokumen."

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang