30a

28.3K 3.9K 343
                                    

Rabu (21.07), 26 Juni 2019

-----------------------------

Dennis berlari cepat ke arah bukit di pinggiran hutan. Letak pemakaman yang berada di tepi hutan jelas menguntungkan bagi siapapun penembak yang berusaha melukai Ellen. Tapi Dennis tidak akan membiarkannya lolos begitu saja. Minimal dia harus tahu wajah si pelaku.

Dennis yakin penembak itu mulai menarik pelatuk pistol saat dirinya dan Ellen berbincang berhadapan. Beruntung dia menarik Ellen ke dalam pelukan. Jika tidak, pastilan peluru itu sudah bersarang di kepala Ellen.

Ada rasa geram dan adrenalin yang menjadi satu dan memacu kecepatan lari Dennis. Tinggal di kota ini cukup lama dan keluar masuk hutan membuat langkah Dennis sangat lincah. Dia berhasil berlari meliuk di antara pepohonan dan melompati akar-akar tanpa terjatuh.

Di kejauhan Dennis mulai bisa melihat punggung orang itu yang sebelumnya hanya tampak seperti kelebat bayangan. Ini bisa membuatnya menduga bahwa larinya lebih cepat dari orang itu. Entah karena faktor usia atau orang itu tidak selincah Dennis berlari menyusuri hutan.

Semakin jauh berlari, jarak mereka semakin terkikis. Hingga akhirnya Dennis mendengar suara mobil-mobil yang melaju tak jauh dari situ.

Sial!

Orang itu berlari menuju jalan utama yang diapit hutan. Pada jam-jam seperti ini, biasanya jalanan itu lumayan banyak kendaraan yang lalu lalang. Kalau dia berhasil menyeberang dan Dennis terjebak di antara lalu lintas yang padat, maka orang itu bisa lolos dengan masuk ke dalam hutan di sisi lain lalu menyeberang melintasi sungai besar dalam hutan. Dia akan lebih mudah bersembunyi karena di hutan sana lebih rapat dan banyak jurang serta bebatuan menyerupai goa. Akan sangat sulit menemukannya.

Pemikiran itu membuat Dennis semakin memacu langkahnya. Larinya semakin cepat hingga akhirnya dia bisa melihat dengan jelas postur tubuh si penembak.

Dia tampaknya setinggi Dennis. Pakaian yang dikenakannya t-shirt polos abu-abu dengan ujung bagian bawah dimasukkan ke dalam pinggang celana jins hitam yang membalut pas kakinya. Dennis tidak bisa melihat jelas alas kaki yang digunakannya. Tapi bagian kepalanya ditutup topi beanie yang membuat rambutnya sama sekali tak tampak.

Ciri-ciri itu sama sekali tak memberikan petunjuk siapa si penembak. Tapi Dennis mengingatnya, berpikir mungkin hal itu dibutuhkan nanti jika dirinya gagal mencapai si penembak dan harus memberikan keterangan di kantor polisi.

Suara-suara mobil semakin jelas terdengar menunjukkan bahwa mereka semakin dekat dengan jalan raya. Namun jarak yang terus dikikis Dennis di antara dirinya dan si penembak membuat Dennis yakin bahwa dia bisa mencapainya sebelum orang itu berhasil menyeberang jalan. Tapi tiba-tiba orang itu berhenti, berbalik lalu melepaskan tembakan ke arah Dennis

Dennis terbelalak lalu buru-buru melompat ke samping, menjadikan sebuah pohon besar sebagai tamengnya. Sayang refleksnya kurang cepat hingga peluru yang diarahkan padanya berhasil menggores lengannya.

Hujan peluru terarah pada Dennis secara bertubi-tubi dari jarak sekitar lima belas meter, membuatnya terjebak di tempat. Dennis juga mengutuki kelihaian si penembak yang menutupi setengah wajahnya dengan sejenis kain scarf dan mengenakan kacamata hitam besar.

Begitu hujan peluru berhenti, Dennis segera keluar dari persembunyian. Dia mengumpat karena si penembak sudah semakin jauh.

Mengabaikan lengannya yang berdarah dan perih, Dennis tak mengurangi kecepatan larinya. Dia berlari dengan satu fokus dalam pikiran, mencapai orang itu.

Saat akhirnya orang itu berhasil keluar dari hutan dan menuju jalan raya, jarak Dennis darinya sudah sekitar lima meter. Begitu orang itu berniat menyeberang tanpa menghiraukan mobil-mobil yang melintas, Dennis berhasil mencapainya dengan cara melompat lalu menggunakan beban tubuhnya untuk menjatuhkan orang itu.

Di saat bersamaan, mobil dari arah kiri melaju cepat lalu menghantam keras tubuh keduanya. Mereka jatuh berguling di atas aspal keras. Suara-suara teriakan terdengar membahana. Ban-ban mobil berdecit. Klakson saling bersahutan.

Dennis yang sempat merasakan kepalanya terbentur aspal mulai merasa pening. Tapi di antara keramaian itu dia masih berusaha membuka matanya menatap lurus ke arah orang yang juga terbaring di depannya. Orang itu sudah dalam keadaan pingsan dengan darah yang tampak mengalir di sisi wajah. Kacamata hitamnya terlepas dan scarf yang menutupi sebagian wajahnya melorot. Kini Dennis bisa melihat dengan jelas wajah orang itu.

Ryno Kirton.

***

Ellen segera mengikuti perintah Dennis tanpa menoleh lagi. Begitu sampai di mobil, dia langsung masuk lalu meringkuk di jok bagian depan dengan tubuh gemetar.

Entah berapa menit Ellen menunggu. Dia terus meringkuk, takut tiba-tiba dia mendengar suara desing peluru seperti yang didengarnya dengan jelas tadi. Tapi begitu kondisinya lebih tenang, dia mengutuki dirinya sendiri yang tidak langsung menelepon polisi.

Sialan, Ellen! Dennis sendirian mengejar penjahat yang membawa pistol sementara kau duduk nyaman di sini!. Bagaimana kalau penjahat itu berhasil menyakiti Dennis?!

Pemikiran itu berhasil membuat Ellen menenangkan diri meski tubuhnya masih gemetar dan napasnya terengah. Buru-buru dia mengeluarkan ponselnya dari saku celana lalu menghubungi nomor Ryno Kirton. Beberapa saat menunggu, ternyata nomor itu tidak aktif.

Ellen tidak tahu nomor telepon polisi di kota ini selain nomor Ryno. Dia juga tidak tahu nomor telepon kantornya. Akhirnya Ellen berniat mengemudi menuju kantor polisi. Tapi dia bimbang memikirkan hendak meninggalkan Dennis. Bisa saja Dennis kembali ke pemakaman dan kebingungan karena tak menemukan Ellen dan mobilnya, kan?

Di saat panik seperti ini, otak Ellen memang tidak berguna. Dia masih bingung memilih antara pergi ke kantor polisi atau menunggu Dennis di sini saat tiba-tiba seseorang mengetuk pintu mobil.

Tok... tok... tok...

Ellen tersentak kaget lalu menoleh ke jendela di sampingnya. Rasa takut yang semula menjalari hatinya seketika surut saat melihat sosok yang dikenalnya berdiri di sana. Buru-buru Ellen membuka kunci pintu mobil lalu keluar dan langsung menghambur ke dalam pelukan orang itu dengan air mata bercucuran, penuh rasa syukur.

"Hei, ada apa?"

Ellen terisak, semakin mengeratkan pelukan. "Ada seseorang yang ingin membunuhku, El."

Ellen merasakan tubuh Ellias menegang mendengar itu. Lalu sang adik balas memeluknya erat, menjanjikan rasa aman.

"Bagaimana kejadiannya?"

"Aku—aku sedang mengunjungi makam Ayah ditemani Dennis. Lalu dari arah hutan seseorang berniat menembakku. Beruntung tembakannya meleset. Dennis langsung mengejarnya lalu menyuruhku menunggu di mobil. Dan dia belum kembali sampai sekarang."

Ellen semakin terisak begitu menyelesaikan ceritanya. Sekarang dia mengkhawatirkan Dennis. Buru-buru dia menegakkan tubuh lalu mendongak menatap wajah Ellias yang memang lebih tinggi darinya.

"El, kau tahu nomor kantor polisi? Segera hubungi mereka lalu minta seseorang membantu Dennis."

Ellias menangkup pipi Ellen dengan kedua tangannya seraya ibu jarinya mengusap air mata di wajah wanita itu. "Aku tidak tahu. Sebaiknya kita langsung ke kantor polisi saja."

"Kalau begitu kau yang pergi. Aku tidak bisa meninggalkan Dennis."

"Tidak!" tegas Ellias. "Bagaimana kalau penjahatnya berhasil lolos dari Dennis lalu kembali ke sini? Aku tidak akan mengambil resiko membiarkanmu sendirian. Kita berdua pergi ke kantor polisi dengan mobilku." Lalu dia menunjuk mobil di belakang Ellen. "Itu mobil Dennis, kan?"

"Iya."

"Kalau Dennis kembali ke sini, dia bisa langsung pulang dengan mobilnya lalu menghubungimu."

"Tapi—" Pandangan Ellen kembali ke pintu area pemakaman. Dia masih merasa tidak yakin hendak meninggalkan Dennis.

"Jangan banyak berpikir," tandas Ellias seraya menarik tangan Ellen ke mobilnya. "Semakin lama kau berpikir, semakin lama Dennis akan mendapatkan bala bantuan. Sebaiknya kita segera pergi." Lalu tanpa menunggu tanggapan, Ellias membuka pintu mobil dan sedikit mendorong Ellen agar masuk

--------------------------

~~>> Aya Emily <<~~

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang