29b

28.9K 4.1K 230
                                    

Sabtu (21.14), 22 Juni 2019

----------------------

Uhukk...!

Ellen tersedak teh hangat yang diseruputnya, bahkan sampai masuk ke hidung hingga meninggalkan rasa panas yang menyengat. Dia terus terbatuk sementara Sintha menepuk punggungnya dengan sorot khawatir.

"Sudah kubilang tidak perlu mengatakan itu," gerutu Dennis sambil mengangsurkan saputangan yang langsung diambil Ellen untuk menyeka hidungnya.

Sintha merengut. "Ellen berhak tahu. Dia kan kekasihmu."

"Tahu apa?" tanya Xavier yang baru bergabung bersama mereka di meja makan yang menjadi satu dengan dapur. Sebelumnya dia berada di halaman untuk menerima telepon dari asistennya.

"Bahwa owner D&D Corp. adalah Kak Dennis. Ellen berhak tahu, kan?" Sintha membela diri seraya duduk kembali di samping Xavier sementara Dennis duduk berdampingan dengan Ellen.

"Dan membuat Ellen hampir mati tersedak." Nada suara Dennis masih terdengar kesal.

Ellen menoleh menatap Dennis dengan saputangan yang masih menutup hidungnya. Dia tahu perusahaan itu. Itu salah satu perusahaan besar. Dan-Dennis adalah pemiliknya?

Dennis menoleh, membuat tatapannya beradu dengan tatapan Ellen. "Kenapa melihatku seperti itu?" tanyanya dengan nada kesal bercampur malu.

Sial! Dennis sendiri bahkan tidak mengerti mengapa dirinya merasa malu bukannya bangga.

"Aku tidak pernah menyangka, si tukang kayu yang tiap harinya selalu makan mie instan adalah owner perusahaan besar." Lalu dia menoleh menatap Sintha dengan sorot penuh tekad. "Semua orang harus tahu ini. Seluruh penduduk. Biar mereka yang dulu selalu meremehkan Dennis jadi malu."

"Apa seperti itu perlakuan warga sini pada Kak Dennis?" Sintha terdengar marah. "Aku setuju. Apa aku perlu menyebar majalah yang sering mengekspos D&D Corp.?"

"Itu ide bagus," Ellen menjentikkan jari setuju.

"Kalau perlu aku juga akan meminta anak buah Kak Dennis untuk merenovasi rumah ini menjadi istana. Ah, bahkan membangun anak cabang D&D Corp. di kota ini."

"Hei kalian-"

"Di tengah kota. Aku ingat masih ada lahan kosong. Lalu toko-toko kecil di dekatnya pasti bisa dibeli." Ellen tampak bersemangat.

Wajah Sintha berbinar. "Beli semua lahan yang sedang dijual. Atau industri yang sedang bangkrut." Dengan sengaja dia menggebrak meja untuk menciptakan efek dramatis. "Kak Dennis harus menjadi penguasa kota ini."

Dennis hanya bisa melongo melihat kedua wanita itu dengan segala ide tak masuk akal mereka lalu menoleh pada Xavier. "Bagaimana kau bisa betah dengan tingkahnya?"

Xavier yang sibuk menikmati sarapan di mejanya mendongak menatap Dennis. "Abaikan saja. Kalau lelah dia akan berhenti sendiri."

Sintha merengut mendengar ucapan Xavier. "Jadi seperti itu, selama ini kau selalu mengabaikanku?"

"Memang," sahut Xavier tak acuh. "Lucu kau tidak tahu."

"Tidur saja di luar kamar selama seminggu," Sintha mengeluarkan ancaman andalan para istri.

"Kenapa hanya seminggu? Aku pasti sangat bersyukur jika bisa tidur di luar selama sebulan. Aku selalu kurang tidur karena terus kau ganggu tanpa melihat waktu. Pasti aku bisa tidur damai di atas sofa."

"Apa tidak terbalik? Kau yang selalu menggangguku tanpa melihat waktu."

"Mana mungkin? Kau kan ratunya otak mesum."

"Dan kau rajanya."

"Apa buktinya? Aku tidak pernah punya novel dewasa?"

"Xavier!"

"Iya, Sayang?"

Cup.

Xavier tersentak saat tiba-tiba mendapat ciuman di bibirnya dari sang istri. Seketika wajahnya memerah. Dengan malu dia melirik dua orang di seberangnya. Tampak Ellen tengah menahan senyum geli sementara Dennis melipat kedua tangan di depan dada.

"Apa kami perlu keluar?" tanya Dennis sambil mengangkat satu alis.

Wajah Xavier semakin memerah mendengar sindiran Dennis. Dia menendang kaki Sintha di bawah meja seperti remaja. Sementara itu Sintha terkikik geli, senang berhasil membuat Xavier bungkam.

"Wah, pantas saja kau bisa membuat kisah yang begitu romantis. Kalian berdua memang sangat romantis." Ellen mendesah melihat pasangan di depannya sambil menangkup kedua pipi.

"Hhh, romantis apanya? Mereka tadi bertengkar lalu berbuat mesum. Anak kecil seharusnya tidak melihat. Kalian benar-benar memberi pengaruh buruk pada Ellen."

Ellen menoleh ke arah Dennis. "Aku bukan anak kecil."

Sintha memegang tangan Ellen untuk menarik perhatian wanita itu. "Ellen, abaikan saja dia. Nanti kuajari tips dan trik menaklukkan pria dingin."

Mendadak Dennis berdiri lalu menarik lengan Ellen hingga wanita itu turut berdiri. "Kalian harus dipisahkan."

"Hei!"

"Kak!"

Dennis mengabaikan protes kedua wanita itu dan terus menarik Ellen ke halaman depan seraya berseru, "Selesaikan sarapan kalian! Kami pergi sebentar. Nanti kuajak kalian berkeliling."

***

Dennis menemani Ellen ke pemakaman James Morris. Semalam wanita itu mengaku merindukan sang ayah dan ingin mendatangi makamnya. Mengingat situasi mereka masih bisa dibilang genting dengan pembunuh yang berkeliaran, Dennis tidak bisa mengambil resiko membiarkan Ellen pergi sendirian.

Cukup lama Ellen duduk di samping makan sang ayah dengan air mata yang tidak bisa berhenti berlinang. Sesekali dia membelai nisan dan bergumam pelan seolah tengah berbincang.

Usai dari makam James, keduanya berjalan bergandengan keluar area pemakaman. Tidak ada yang berbincang. Ellen masih diselimuti suasana duka akibat kerinduannya pada sosok sang ayah. Dan begitu banyak pertanyaan tak terjawab dalam benaknya. Bukan hanya mengenai tragedi kematian James, tapi juga mengenai ucapan sang Ibu tentang sosok James yang tidak pernah Ellen ketahui.

"Kau baik-baik saja?" tanya Dennis. Pertanyaan basa-basi hanya untuk memecah keheningan.

"Sama sekali tidak baik," sahut Ellen jujur.

Dennis berhenti, membuat Ellen turut berhenti lalu menghadapnya. Mereka saling berpandangan. Lalu jemari Dennis menghapus air mata di pipi Ellen.

"Aku tidak tahu harus mengatakan apapun," kata Dennis akhirnya.

"Kalau begitu jangan. Jangan katakan apapun. Hanya peluk aku dengan erat."

Dennis berdecak, tapi tiba-tiba menarik Ellen hingga berakhir dalam dekapannya. Saat itulah suara berdesing dan letusan akibat peluru yang menghantam pepohonan terdengar. Refleks Dennis menoleh ke asal peluru dan menemukan kelebat seseorang di atas bukit yang melarikan diri ke hutan.

"Cepat lari ke mobil!" perintah Dennis pada Ellen seraya bergegas mengejar orang tadi. Jantungnya berdegup kencang. Bukan hanya karena adrenalin yang menguasainya saat ini. Tapi juga akibat rasa takut yang mencengkeram.

Brengsek! Pembunuh itu jelas-jelas mengincar Ellen.

-----------------------------

~~>> Aya Emily <<~~

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang