1

53.8K 4.5K 163
                                    

Rabu (16.31), 06 Maret 2019

Yang gak ingat bang Dennis bisa baca In His Arm ^_^

----------------------------

Sudah empat hari ini Ellen selalu sarapan di Warm House. Salah satu restoran yang menyajikan menu sarapan lezat yang memanjakan lidah. Nama restoran ini sama sekali tidak sesuai kenyataan. Faktanya Warm House selalu sejuk, bahkan di pagi hari yang dingin seperti sekarang. Tapi Ellen sama sekali tidak mengeluh karena restoran ini memiliki pemandangan indah di pagi hari. Dan pemandangan indah itu baru saja melewati ambang pintu di jam yang sama seperti biasanya lalu menunggu antrian untuk memesan makanan.

Ellen menegakkan tubuh sambil pura-pura serius membaca buku yang dibawanya. Tapi sesekali matanya beralih, melirik kaki yang tertutup sepatu boot, lalu naik menelusuri paha kekar berbalut celana jins belel. Tanpa sadar Ellen menggigit bibir saat matanya beralih ke bokong kencang, pinggang ramping, terus ke lengannya yang terbuka karena hanya mengenakan kaus tanpa lengan seperti biasanya. Bahkan kepala yang hanya ditumbuhi rambut pendek—sangat pendek hingga nyaris botak—terlihat sangat memikat di mata Ellen.

Ellen berdehem seraya menggeleng pelan untuk menjernihkan otaknya yang seketika berubah jadi kotor lalu kembali beralih pada buku di hadapannya yang sedikit pun tak ia mengerti isinya.

Entah mengapa otak Ellen selalu menghadirkan bayangan liar tiap kali melihat sosok lelaki itu. Bahkan pada saat pertama kali melihatnya seminggu yang lalu di lampu merah. Sejak itu, niat Ellen untuk menghibur diri dengan menelusuri kota kecil ini berubah. Tiap saat dihabiskannya dengan mencari tahu tentang lelaki bermata biru itu. Dari hal yang umum diketahui semua orang hingga hal kecil seperti kebiasaannya sarapan di Warm House tiap jam delapan pagi.

Dennis Anthony.

Nama yang umum digunakan. Tapi tidak pernah menarik perhatian Ellen lebih dari sekarang.

Semua tentang Dennis sangat menarik hati Ellen. Terutama mata birunya yang indah sekaligus dingin membekukan. Mengusik rasa ingin tahu Ellen untuk menjelajah kedalamannya.

Ellen tak lagi memperhatikan Dennis. Namun seolah dirinya memiliki mata di seluruh kepala yang hanya tertuju pada Dennis, Ellen tahu bahwa lelaki itu kini telah memesan lalu membawa nampan makanannya ke meja di salah satu sudut. Masih di tempat biasa, berseberangan dengan tempat Ellen berada. Namun posisi mereka berhadapan, membuat Ellen semakin tak berani mendongak dan membuat dirinya dipergoki Dennis dengan tatapan memuja.

Cukup lama memaksa matanya terus mengarah pada buku dan sesekali berpura-pura mengecek ponsel, akhirnya Dennis selesai makan lalu keluar Warm House. Saat itulah Ellen bisa bernafas lega lalu mendongak untuk mengagumi bagian belakang tubuh nan gagah itu.

Hhhh...

Ellen menghela nafas panjang setengah frustasi.

Sampai kapan dirinya akan terus seperti ini? Apa sepanjang liburannya? Dia merasa kembali menjadi remaja yang suka mengamati diam-diam anak lelaki populer di sekolah. Walaupun bisa dibilang Ellen juga populer semasa sekolah karena orang tuanya adalah orang paling kaya di kota kecil ini, tapi Ellen bukanlah anak gadis yang suka menonjolkan diri. Bahkan sampai sekarang. Dia lebih suka mengamati dari jauh. Itu sebabnya Ellen tidak pernah memiliki kekasih.

Sepeninggal Dennis, Ellen merapikan barang-barangnya lalu memasukkannya ke dalam tas. Dia keluar dari Warm House disambut langit mendung yang tampak akan segera menumpahkan rimtik hujannya.

Memang hujan lebih sering turun di sini daripada cahaya matahari yang bersinar. Tapi rasa dinginnya menenangkan dan mengembalikan memori masa kecil saat mandi hujan adalah salah satu kegemaran Ellen. Kegiatan yang akan membuat sang Ayah tertawa geli sementara sang Ibu mengomel panjang memberikan ceramah tentang kuman, cacing, dan segala macam penyakit yang bisa timbul akibat terguyur hujan.

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang