34a

31.2K 3.9K 183
                                    

Rabu (22.40), 07 Agustus 2019

Gak tau kenapa cerita ini makin berat buat lanjutinnya. Aku bahkan butuh waktu sekitar 5 jam buat nulis part pendek kayak ini -_-

------------------------

Ellen merapatkan tubuhnya ke kehangatan di sampingnya. Dia merasa kedinginan hingga giginya bergemeletuk dan bibir mungilnya tampak bergetar.

Ellias yang merasakan gerakan Ellen di sampingnya langsung terjaga. Situasi mereka yang bisa dibilang sedang dalam pelarian membuatnya tak bisa tidur nyenyak. Hingga gerakan Ellen langsung mengagetkannya.

"Astaga!" Ellias berseru pelan menyadari tubuh Ellen terasa sangat panas. Tapi bibir gadis itu bergetar seperti kedinginan. Segera dia menarik Ellen ke dalam dekapannya, membuat kepala Ellen bersandar di dadanya.

"Dingin...," keluh Ellen setengah sadar.

"Aku sudah memelukmu," gumam Ellias lalu menanamkan kecupan lembut di puncak kepala Ellen.

Ellen mengenali suara itu di antara pikirannya yang berkabut. Dia mendongak, menatap wajah familiar yang menunduk ke arahnya. "El?"

"Iya, ini aku." Ellias tersenyum lembut seraya membelai pipi Ellen dengan punggung tangannya. "Tidurlah lagi. Aku akan menjagamu."

Tanpa rasa curiga, Ellen membalas senyum Ellias. Dia mengangguk lalu melingkarkan sebelah lengannya di pinggang Ellias penuh rasa percaya. Tak pernah terpikir dalam benaknya bahwa apa yang dilakukannya ini membuat jantung Ellias berdebar sangat cepat, membuat semburan gairah menguasainya, hingga Ellias berpikir dirinya akan kehilangan kendali dan memutuskan mengklaim Ellen menjadi miliknya.

***

Pagi ini Ellen merasa lebih baik meski wajahnya masih pucat. Sejak membuka mata, dia tampak kebingungan menatap sekelilingnya dan menanyakan hal itu pada Ellias. Tapi Ellias terus mengelak, berusaha mengalihkan perhatian Ellen dengan sarapan hangat.

Di meja makan, Ellen membeku menatap menu sarapan di hadapannya lalu mendongak menatap Ellias yang sudah makan dengan lahap. Dia sama sekali tidak sanggup menyentuh makanan itu dengan pikiran berkecamuk memikirkan di mana mereka dan kenapa mereka di sini.

"Ellen, makanlah selagi hangat," tegur Ellias saat dia menyadari Ellen tak kunjung menyentuh sarapannya.

Teguran Ellias membuat kesabaran Ellen habis. Dia merasa diperlakukan seperti anak kecil yang tidak perlu tahu urusan orang dewasa. Dengan kesal dia mendorong piring ke tengah meja lalu melipat kedua tangan di depan dada saat membalas tatapan Ellias dengan sorot marah.

"Di mana kita?" tanya Ellen dingin.

"Di rumah temanku."

"Kau sudah mengatakannya tadi. Tapi kau tidak menjelaskan lebih detail dan alasannya. Bahkan kau melarangku keluar seolah aku adalah tahanan."

Ellias mendesah lalu dua mengutarakan apa yang sudah dipikirkannya semalaman. "Kau sudah tahu yang sebenarnya. Apa menurutmu aku bisa kembali ke kota itu?" tanya Ellias dengan nada sedih.

DEG.

Sejujurnya Ellen lupa. Seolah otaknya berusaha menghapus ingatan mengerikan itu. Tapi kini begitu Ellias mengungkitnya, seketika Ellen bergidik. Begitu sedih dan menderita. Tidak tahu apa yang seharusnya dia lakukan selanjutnya.

"Karena itu kita harus pergi. Tolong mengerti lah." Ellias berkata lembut. Membujuk.

Ellen menumpukan kedua siku di atas meja lalu tangannya menutup wajah. Dadanya sesak. Desakan untuk menangis terasa kuat. Rasanya dia akan hancur dari dalam.

Beberapa saat dalam posisi itu, akhirnya Ellen menurunkan kedua tangannya lalu menatap sang adik serius. "Kalau begitu pergilah. Sejauh mungkin dan selamatkan dirimu. Tapi aku harus kembali. Aku juga akan berbicara dengan Paman Ryno agar menutup kasus kematian Ayah. Dia pasti setuju."

Mata Ellias melebar. Jelas dia tidak menginginkan itu. Dia ingin tetap bersama Ellen. "Ellen, apa kau tega menyuruhku pergi jauh? Kau tahu tidak ada yang menginginkanku. Aku hanya memilikimu sekarang. Kau harus ikut bersamaku."

Tangan Ellen terulur menjangkau jemari Ellias di atas meja lalu meremasnya lembut. "Walau Ayah menolakmu, kau tahu Ibu, Paman Ryno, dan aku menyayangimu. Tapi seperti yang kau bilang, kau tidak bisa tetap tinggal. Kau harus segera menyelamatkan diri. Tapi aku tidak bisa pergi bersamamu. Lagipula lebih baik aku tetap tinggal dan memastikan tidak akan ada yang mengejarmu."

Meskipun rasanya Ellen mengkhianati sang ayah, tapi lebih baik begini. Dia tidak akan sanggup melihat Ellias dipenjara. Apalagi jika dirinya yang membantu menjebloskannya. Ellen tidak akan memaafkan dirinya sendiri seumur hidup. Setidaknya dia sudah tahu siapa pembunuh ayahnya dan apa alasannya.

"Tapi aku ingin tetap bersamamu," Ellias tampak memelas.

"El, jika tidak ada yang kembali, kita akan semakin cepat ketahuan. Mungkin seseorang juga akan melaporkan kasus penculikan karena kita berdua menghilang. Semuanya akan semakin kacau." Ellen mencoba menjelaskan hati-hati. Dadanya sakit melihat Ellias tampak begitu tersiksa. Dia tidak bisa membayangkan kehidupan macam apa yang akan dilalui sang adik setelah ini.

"Tapi Ellen—"

"Ini yang terbaik. Lagipula kau tahu di mana aku. Lima atau enam tahun lagi kau bisa pulang menemuiku." Kali ini Ellen mengulurkan tangannya yang bebas untuk menangkup sebelah pipi Ellias, berharap bisa menyalurkan kekuatan.

Setetes air mata Ellias mengalir di pipinya. Dia begitu mencintai wanita yang tengah menatapnya penuh sayang di seberang meja. Tapi hubungan mereka membuatnya tak bisa bebas menunjukkan rasa cintanya. Dan itu amat menyakiti hati Ellias.

"Semua akan baik-baik saja," suara Ellen serak dan air matanya turut mengalir. "Aku akan berusaha melindungimu."

Ellias memalingkan wajahnya hingga bibirnya bisa mengecup hangat telapak tangan Ellen. Lalu ia letakkan tangannya sendiri di atas tangan Ellen yang masih menangkup pipinya.

"Baiklah. Aku akan lakukan sesuai keinginanmu," gumam Ellias akhirnya.

***

Mereka masih menunggu sehari lagi sebelum keluar dari rumah itu. Ellias bersikeras Ellen harus pulih benar sebelum melakukan perjalanan jauh seorang diri.

Hari itu pagi-pagi sekali—bahkan langit masih gelap—mereka keluar rumah menuju terminal terdekat dengan satu ransel di punggung Ellias. Tidak ada kendaraan di rumah itu, membuat Ellen bertanya-tanya di mana Ellias meninggalkan mobilnya. Namun dia tidak mengutarakannya dan memilih berjalan di samping Ellias dengan jemari saling menggenggam.

Ini akan jadi pertemuan terakhir mereka entah untuk berapa lama. Di terminal itu mereka akan menuju arah yang berlawanan.

"Kita masih harus menunggu, El," gumam Ellen saat melihat sekelilingnya yang sepi. "Sepertinya kita berangkat terlalu pagi."

Ellias sama sekali tak menanggapi. Dia juga tengah menatap sekeliling, namun dengan pikiran yang berbeda dari Ellen. Lalu pandangannya kembali pada Ellen, memperhatikan sosok yang amat dicintainya itu.

Sepertinya ini saatnya. Dia tidak bisa menunggu lagi untuk memberitahu perasaannya pada Ellen. Jika dirinya benar-benar ingin menjadikan Ellen miliknya, maka Ellen harus tahu agar Ellias tidak perlu lagi pura-pura menjadi adik manis.

Dengan tekad bulat, Ellias mendekat pada Ellen selangkah, menghapus jarak di antara mereka. Lalu dia agak menunduk hanya agar bisa berbisik lembut di telinga Ellen.

"Aku mencintaimu, Ellen. Lebih dari saudara. Aku ingin menjadikanmu sebagai milikku."

Seketika Ellen menegang mendengar pengakuan cinta lembut namun bagai sambaran petir di telinga Ellen. Saat dia berniat menoleh untuk memastikan bahwa Ellias hanya bercanda, tiba-tiba Ellias memukul tengkuknya dengan sangat keras hingga membuat kepala Ellen pening lalu hilang kesadaran.

Ellias bergerak sigap, menahan tubuh Ellen yang lunglai. Lalu dia mengangkat Ellen ke dalam gendongannya seraya bergegas menghampiri sebuah mobil yang sejak tadi sudah dia perhatikan.

--------------------------

~~>> Aya Emily <<~~

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang