14

29.8K 3.8K 105
                                    

Selasa (11.52), 09 April 2019

--------------------------

Setelah menghabiskan sebatang rokok, Henry merasa sudah cukup memberi Dennis dan Ellen privasi. Dia masuk ke mobil lalu mengangkat salah satu alis melihat Ellen berbaring meringkuk di jok mobil berbantalkan paha Dennis.

"Dia kelelahan setelah menangis," jelas Dennis, menjawab pertanyaan tak terucap Henry.

Henry mengangguk tapi lalu perhatiannya tertuju pada tangan dan kemeja Dennis yang ternoda darah. "Sepertinya luka di bibir Ellen sudah tidak mengeluarkan darah," gumam Henry.

"Ini dari kepalanya," Dennis menunjuk.

Henry terbelalak. "Dia harus dibawa ke klinik."

"Dia tidak mau. Aku juga sudah melihatnya dan sepertinya hanya luka luar. Darahnya juga sudah berhenti mengalir."

Henry memukul stir mobil dengan raut geram. "Ini sudah sangat keterlaluan. Rennie tidak bisa dibiarkan. Dia harus dilaporkan."

Dennis memperhatikan wajah tenang Ellen yang lelap. "Tidak ada yang bisa kita lakukan jika Ellen tidak mau membawa masalah ini ke kepolisian."

"Hhhh, andai masih bertugas, orang seperti Rennie tidak akan kubiarkan lolos."

Dennis tidak menanggapi, masih memperhatikan wajah Ellen.

"Jadi sekarang, kita akan mengantar Ellen ke mana?" tanya Henry.

Dennis mendongak membalas tatapan Henry dengan kening berkerut. "Mungkin ke rumah Sunny?"

"Siapa Sunny?"

"Teman Ellen."

Henry terdiam, merasa nama itu familiar. "Oh, bukankah dia baru melahirkan? Aku ingat ibu Sunny adalah teman Shirley. Jadi beberapa waktu lalu Shirley datang menengok bayinya."

Dennis angkat bahu, menunjukkan dirinya tidak tahu atau bahkan tidak peduli.

"Sebaiknya jangan ke sana," saran Henry.

"Memangnya kenapa? Hanya Sunny teman Ellen yang kutahu."

"Sunny pasti sudah repot mengurus bayinya. Sebaiknya jangan merepotkannya."

Dennis tak menanggapi, menyadari kebenaran perkataan Henry. Dia kembali berpikir, ke mana dia bisa mengantar Ellen.

Saat itulah Dennis menyadari pandangan tajam Henry ke arahnya. Dia mendongak lalu melotot kesal ke arah Henry. "Kenapa melihatku begitu?"

Henry nyengir, membuat Dennis langsung menyadari maksud Henry.

"Tidak!" tegas Dennis.

"Ayolah, kau masih punya kamar kosong yang tidak pernah ditempati. Jika terus dibiarkan kosong, bisa-bisa kamar itu dihantui."

"Biarkan saja."

Henry terbelalak. "Kau lebih suka ditemani hantu daripada Ellen?" Lalu perlahan seringai lebar muncul di bibirnya. "Kenapa? Takut khilaf lalu menyerang Ellen saat tidur? Sebaiknya ingatkan dia untuk mengunci pintu kamar begitu langit gelap karena ada serigala yang akan menerkamnya sewaktu-waktu."

Dennis melemparkan tatapan membunuh ke arah Henry, membuat lelaki itu mati-matian menahan tawa kerasnya agar tidak mengganggu Ellen lalu mengangkat kedua tangan tanda menyerah.

"Baiklah, baiklah. Jadi kita akan membawa Ellen ke mana?"

Sadar dirinya tak punya pilihan lain, Dennis berkata setengah jengkel. "Ke rumahku."

Henry menyeringai namun kali ini tak mengatakan apapun dan segera menyalakan mesin mobil.

***

Dennis membopong tubuh Ellen ke dalam kamarnya lalu membaringkannya di atas ranjang. Kamar yang satu lagi tidak pernah digunakan seperti kata Henry. Jadi masih perlu dibersihkan sebelum Ellen bisa menempatinya. Sementara itu Henry membawa dua tas besar Ellen lalu meletakkannya di ruang tengah rumah Dennis yang bisa dibilang kosong.

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang