41

24.4K 3.4K 101
                                    

Senin (21.22), 11 November 2019

-----------------------------

Rennie terus mengamuk seperti orang gila begitu Xavier membawanya ke makam Ryno dan Ellias. Dia tidak bisa menerima kenyataan. Hingga Xavier memutuskan memasukkan Rennie ke rumah sakit jiwa.

Di antara kenyataan pahit yang masih memengaruhinya, Ellen tetap tak bisa mengabaikan perusahaan sang Ayah. Dia berusaha belajar dengan cepat dibantu asisten setia sang Ayah. Berangkat pagi dan terus pulang larut malam.

Rasa kesepian tak terlalu mencekiknya meski Xavier dan Sintha sudah memutuskan pulang. Masih ada Dennis yang atas permintaan Ellen, tetap tinggal di rumah wanita itu. Keberadaan Dennis cukup membantunya menghalau rasa sepi setelah sepanjang hari otaknya terus dipaksa memahami pekerjaan di luar keinginannya.

Kini lebih dari satu minggu berlalu. Namun Ellen merasa sedang berjalan di tempat. Tak ada kemajuan. Bahkan dia pikir lambat laun perusahaan sang Ayah akan hancur di tangannya.

Para pegawai perusahaan juga mulai berbisik-bisik di belakangnya. Ellen tahu meski pura-pura tak mendengar. Mereka semua mempertanyakan kemampuannya. Meski Ellen cukup andal sebagai koki, tapi mengurus perusahaan jelas jauh dari jangkauannya.

Hari-harinya kian terasa berat. Puncaknya siang ini, saat asisten sang Ayah memberitahu Ellen bahwa besok adalah jadwal rapat direksi. Bukan rapatnya yang menjadi masalah. Tapi hal yang hendak diungkit para direktur itu. Asisten sang Ayah memberitahu bahwa mereka berniat menguji Ellen secara terang-terangan. Membawa masalah yang tengah melanda perusahaan ke dalam rapat lalu meminta Ellen membuat solusi untuk mengatasinya.

Dengan baik hati asisten sang Ayah sudah memaparkan beberapa masalah perusahaan yang cukup serius lalu memberi Ellen rencana penyelesaian masalah yang bisa dia kemukakan. Ini seperti memberikan contekan sebelum tes wawancara. Ellen hanya perlu menghafal dan dia pun akan lulus tes. Tapi—

Keraguan melanda hati Ellen. Semakin kuat seiring waktunya pulang. Beruntung ada sopir yang menjemputnya malam ini. Jika tidak, mungkin Ellen akan menjadi penyebab kecelakaan.

Sebenarnya Dennis sudah menawarkan diri untuk menjemput. Namun Ellen menolak. Entah mengapa dia seolah memiliki firasat hari ini akan berakhir buruk. Dia tidak mau Dennis terpengaruh suasana hatinya.

Dan firasat Ellen benar. Meski asisten ayahnya yakin Ellen bisa melewati hari esok, tapi Ellen tidak memiliki keyakinan yang sama. Apa jadinya perusahaan itu jika si pemimpin butuh contekan untuk menyelesaikan masalah? Kedengarannya sangat menggelikan sekaligus memalukan.

Tiba di rumah, Ellen langsung menuju ruang kerja sang Ayah. Tapi bukan untuk mempelajari pekerjaan Ayahnya seperti biasa. Setelah meletakkan tas di atas meja besar, Ellen menuju lemari di sudut ruangan lalu mengeluarkan botol minuman milik sang Ayah. Tanpa repot-repot mengambil gelas, Ellen membuka tutup botol lalu menenggak isinya hingga tersedak.

"Uhukkk...."

Ellen terbatuk. Dia menepuk dadanya sendiri kuat. Tanpa bisa dicegah, air matanya bergulir membasahi pipi. Dengan punggung bersandar di lemari dan satu tangan memegang leher botol, ia tertunduk sambil menahan gumpalan yang terasa mengganjal tenggorokannya.

Tidak! Jangan lagi. Dirinya sudah cukup menangis. Seharusnya tidak ada air mata lagi. Tapi—

Sebuah isakan lepas dari sela bibirnya. Ellen buru-buru menutup mulut dengan punggung tangan yang bebas. Saat dia mendekatkan bibir botol ke mulut hendak menenggak cairan memabukkan itu lagi, tangan lain turut memegang botol lalu menariknya lembut.

Ellen mendongak. Matanya langsung beradu dengan mata biru yang amat familiar. Dengan malu, Ellen memalingkan wajah menyembunyikan matanya yang basah dan membiarkan Dennis mengambil alih botol minuman di tangannya.

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang