35b

28.9K 3.6K 181
                                    

Rabu (21.53), 04 September 2019

------------------------------

BRAK... BRAK... BRAKK!!

"Kembali kau, El!!"

BRAKKK!

"Bajingan! Kembali ke sini!"

Makian dan teriakan Ellen semakin keras. Gedoran di pintu juga tak kalah kerasnya. Tapi Ellias mengabaikannya meski hatinya perih begitu Ellen bereaksi di luar dugaannya.

Cukup lama duduk terpaku di kursi ruang tamu dalam rumah pinggir jalan yang ditemuinya dalam pelarian, akhirnya Ellias berdiri dan memutuskan keluar untuk mencari makanan. Dia sudah menyiapkan banyak uang tunai hingga tidak khawatir mereka akan kelaparan. Yang ditakutkan Ellias hanya orang-orang yang mencari mereka bisa menemukan persembunyian mereka kapan saja.

Itu sebabnya mereka harus segera lari.

Tapi sayang, emosi Ellen yang belum stabil membuat langkah mereka harus terhambat. Dia tidak mungkin membawa Ellen dalam kondisi berteriak-teriak histeris begitu. Atau dalam keadaan pingsan karena setelah ini rencananya Ellias akan menuju bandara agar mereka bisa segera keluar dari kota.

Langit sudah gelap saat akhirnya Ellias kembali ke rumah itu dengan dua tas kresek di tangannya. Tempat ini cukup jauh dari pusat kota dan area pertokoan hingga Ellias harus berkendara lumayan jauh. Tapi kemudian dia terpaksa meninggalkan mobil yang dikendarainya dan mencuri mobil lain saat berita pencurian mobil di terminal pagi hari tadi sudah tersebar luas.

Mereka benar-benar harus bergerak. Atau mereka akan tertangkap. Meski bukan Dennis yang menemukan mereka, para polisi bisa menahan mereka akibat kasus pencurian mobil.

Tiba di rumah, Ellias sedikit merasa lega karena Ellen sudah tak lagi berteriak-teriak sambil menggedor pintu. Tapi lalu perasaan cemas memenuhi hatinya. Kenapa begitu hening? Apa Ellen baik-baik saja?

Bergegas Ellias membuka pintu kamar tempatnya mengurung Ellen. Entah rumah kosong ini milik siapa. Meski berdebu dan agak kosong, namun beberapa perabotan seperti kursi, meja, dan ranjang masih tertata rapi. Bahkan kunci lemari dan kamar tergantung di lubang kunci.

Begitu pintu terbuka, Ellias segera masuk. Namun kekhawatirannya tak berlangsung lama mendapati Ellen tengah meringkuk terlelap di ranjang. Sepertinya wanita itu jatuh tertidur karena kelelahan.

Ingin sekali Ellias mendekat untuk memeriksa kondisi Ellen. Atau sekedar menguji apa wanita itu masih marah padanya. Tapi dia memilih menahan diri dan akhirnya keluar kamar. Biarlah Ellen istirahat sebelum makan malam. Apalagi rencananya malam ini Ellias akan langsung membawa Ellen pergi begitu emosi wanita itu sudah stabil.

Setelah satu jam menunggu, akhirnya Ellias putuskan untuk membangunkan Ellen. Dia kembali masuk ke kamar lalu membungkuk di sisi ranjang seraya mengguncang pelan bahu Ellen.

"Ellen, bangun. Aku sudah menyiapkan makan malam." Makanannya memang sudah dingin. Tapi itu lebih baik daripada mereka kelaparan.

Ellen yang sebenarnya sama sekali tidak tidur akhirnya membuka matanya yang tampak bengkak. Perlahan dia mengubah posisi menjadi duduk lalu menurunkan kedua kaki ke lantai.

"Aku mau ke kamar mandi," katanya dengan nada dingin.

Ellias tidak pernah mendengar Ellen berbicara sedingin itu padanya. Tapi ini lebih baik daripada wanita itu mengabaikannya atau berteriak histeris seperti tadi.

"Ayo kuantar."

Ellen bahkan tidak menepis tangan Ellias yang membantunya bangun lalu menuntunnya hingga ke kamar mandi. Wanita itu berjalan bagai cangkang kosong yang hanya tersapu ombak.

Tiba di kamar mandi, Ellen langsung masuk. Dan begitu dia menutup rapat pintu di belakangnya, tampak amarah dan sorot terluka memenuhi matanya.

Tidak, dia tidak bisa lagi memaafkan Ellias dengan mudah. Bahkan Ellias tidak akan pernah mendapat maafnya. Pengakuan Ellias sangat mengerikan di telinga Ellen. Bukan karena cinta terlarang yang ada di hati Ellias. Tapi alasan pembunuhan yang dilakukannya. Itu membuat Ellen tak bisa lagi merelakan kematian James. Setidaknya sebelum dia membalas dendam.

Ya, memang itu yang akan dilakukan Ellen dengan pura-pura menurut sekarang. Ellen akan menuntut balas atas kematian James. Darah harus dibayar darah, benar kan?

Usai buang air dan sedikit merapikan penampilannya, Ellen keluar. Entah rumah siapa yang digunakan Ellias ini. Jelas masih ada air bersih di kamar mandinya. Ah, apa itu Ellias yang melakukannya setelah berhasil menyalakan listrik?

Ellias sudah menunggu di ruang tamu tempat dia menata makanannya. Senyumnya merekah begitu melihat Ellen. Tapi bahkan Ellen sama sekali tidak meliriknya dan memilih langsung duduk.

Meski hati Ellias sakit atas sikap Ellen, dia memilih mengabaikannya dan tetap tersenyum. "Makanlah. Hanya ini yang bisa kudapatkan. Dan aku juga membelikanmu apel."

Ellen melirik apel segar yang sudah dikupas dan dipotong menyerupai dadu. Tapi bukan apelnya yang menarik perhatian Ellen. Melainkan pisau tajam yang pasti diambil di dapur rumah ini.

Pasti pisau yang digunakan Ellias untuk membunuh James mirip seperti pisau itu, kan? Bagaimana rasa sakit yang dialami James saat pisau itu mengoyak perutnya? Sepertinya menyenangkan membuat Ellias merasakan hal yang sama.

"Hei, kenapa diam? Ayo makan. Malam ini kita harus segera pergi lagi."

Ellen mengalihkan perhatian dari pisau itu lalu memilih menunduk menatap makanan di depannya. Dia sama sekali tak berselera namun tetap memaksakan diri. Rasanya seperti menelan batu saat pandangannya mulai dipenuhi warna merah darah karena otaknya terus membayangkan betapa menyenangkannya melihat darah Ellias mengalir dari luka akibat tikaman pisau dan akhirnya menjadi genangan merah di lantai.

Usai makan, Ellen sudah menyimpan beberapa informasi dalam kepalanya. Teruatama mengenai di saku mana Ellias menyimpan ponsel serta uangnya. Ellen berdiri seolah hendak merapikan meja namun Ellias mencegahnya.

"Tinggalkan saja. Toh kita akan segera pergi." Lalu dia turut berdiri."Aku akan ke kamar mandi dulu."

Begitu Ellias pergi, Ellen langsung menyambar pisau di meja. Dia juga langsung bergerak menyusul Ellias ke kamar mandi dengan pisau tergenggam erat di tangan kanan.

Tak ada lagi rasa takut. Tak ada lagi rasa iba. Hati Ellen mendadak berubah gelap. Pekat.

Beberapa menit berdiri diam di depan pintu kamar mandi, akhirnya suara kunci terdengar. Dan begitu daun pintu bergerak terbuka, Ellen langsung menggerakkan pisau dalam posisi menikam dengan keras ke depan.

Detik berikutnya, terdengar lenguhan tertahan Ellias dan pandangannya yang tidak percaya akan apa yang bisa dilakukan Ellen. Ellias terbelalak kaku di ambang pintu kamar mandi dengan pisau tertancap di perutnya. Dan dia seolah melihat sosok lain yang berdiri di depannya sambil menyeringai lebar. Benarkah itu Ellen?

Dan sebelum pertanyaan itu mendapat jawaban, Ellias sudah rubuh ke lantai dengan pisau yang dibiarkan berdiri tegak di perutnya.

--------------------------

Maafkan karena pendek. Mood nulisku belum bener-bener pulih -_-

~~>> Aya Emily <<~~

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang