44

27.3K 2.7K 89
                                    

Jumat (19.45), 27 Maret 2020

----------------------------

Seperti dugaan Dennis, begitu dia dan Ellen kembali ke rumah orang tuanya, semua di sana sudah tahu kisah mereka. Sintha benar-benar tak membuang waktu untuk bercerita. Dennis hanya berharap sang adik mengingat kesepakatan mereka untuk tidak mengatakan apa alasan Ellias melakukan pembunuhan yang sebenarnya.

Ellen awalnya merasa canggung kembali ke rumah itu dan kini menjadi pusat perhatian. Bagaimana pun dirinya sempat bersikap kekanakan. Pergi begitu saja tanpa permisi dan membuat semua orang susah payah mencarinya. Tapi perasaan itu tak berlangsung lama. Sintha langsung memeluknya dengan raut lega.

"Aku sungguh minta maaf. Seharusnya aku tahu Kak Dennis datang bersamamu," Sintha menatap Ellen dengan sorot menyesal begitu pelukan mereka lepas.

"Aku juga minta maaf. Tidak seharusnya aku bersikap seperti tadi." Wajah Ellen memerah malu, sadar semua mata mengarah padanya.

Lalu seorang wanita yang diingat Ellen sebagai Mommy Dennis mendekat dan tanpa basi-basi memeluknya. "Aku tidak ingin minta maaf," bisik Elena, masih sambil memeluk Ellen. "Tapi aku ingin berkata terima kasih. Sintha sudah menceritakan semua. Terima kasih karena membawa putraku kembali."

Ellen menunggu sampai Elena melepaskan diri sebelum berkata ragu, "Aku—aku membuat Dennis terlibat masalah besar dan Anda berkata terima kasih?"

"Bukan kau yang membuat Dennis terlibat masalah," Romy yang berkata seraya mengibaskan tangan. "Masalah memang selalu membuntutinya seperti anak ayam membuntuti induknya. Jadi harusnya kau yang berpikir ulang, ingin tetap bersamanya atau tidak."

"Hei, Kak. Aku tidak suka gurauanmu," protes Dennis.

Namun itu berhasil mencairkan suasana. Semua orang tergelak, bahkan Ellen tak bisa menahan senyum. Lalu entah mengapa, Ellen menoleh hingga tatapannya beradu dengan mata wanita yang tadi sempat membuatnya cemburu. Wanita itu juga tersenyum lebar mendengar lelucon Romy namun air mata haru tampak membasahi pipinya. Sementara lelaki yang berdiri si sampingnya sambil memeluk pinggangnya dengan posesif sama sekali tak tersenyum.

Menyadari pandangan Ellen, Aira juga menoleh. Lalu dia menyunggingkan senyum amat manis. Tak ada permusuhan, tak ada tuduhan, atau sorot cemburu dalam mata itu. Yang Ellen lihat hanya haru dan lega, seolah beban berat telah diangkat dari pundaknya. Saat itulah Ellen pikir, dirinya harus mencari waktu untuk mengobrol dengan wanita itu, Aira. Hanya berdua.

Tampaknya Dariel juga memiliki pikiran yang sama dengan Ellen karena tiba-tiba dia berkata lantang hingga berhasil menghentikan obrolan di sekitar mereka.

"Senang akhirnya kau menemukan wanita yang bisa mengisi hatimu hingga tak perlu lagi mengganggu istriku. Tapi kita benar-benar harus bicara berdua. Untuk menyelesaikan masalah yang menggantung di antara kita."

Aira mendongak menatap sang suami. "Masalah apa lagi? Dennis sudah punya kekasih sekarang."

Dariel tersenyum tipis lalu membungkuk untuk memberikan kecupan singkat di bibir Aira, hingga membuat Aira memerah malu. Astaga, ini di rumah orang tua Dennis dan tidak biasanya Dariel menciumnya di depan umum begitu.

"Dasar bocah," ejek Dennis terang-terangan, menangkap jelas maksud Dariel mencium Aira di depan mereka semua.

Beruntung Dariel tak menanggapi ejekan itu dan hanya mengedikkan dagu ke arah samping rumah. "Kita bicara di luar." Lalu dia berjalan lebih dulu tanpa menunggu apakah Dennis mengikutinya atau tidak.

"Oke, boys! Jangan sampai ada perkelahian, apalagi adegan tembak-tembakan seperti dulu," peringat Raka tajam. Dia serius dengan ucapannya namun hanya ditanggapi Dennis dengan cengiran seraya membuntuti Dariel.

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang