2

38.5K 4.2K 68
                                    

Selasa (14.44), 12 Maret 2019

-------------------------

Suasana hati Ellen buruk siang ini. Bagaimana tidak? Dennis tidak sarapan di Warm House seperti biasa. Dia mulai bertanya-tanya apa Dennis memutuskan sarapan di tempat lain karena bosan dengan masakan di Warm House.

Yah, seharusnya Ellen mengikuti logikanya. Seharusnya ia bersantai dan bukannya terus membuntuti Dennis seperti maniak. Tapi dia tidak bisa menahan diri. Entah sihir apa yang mengelilingi sosok lelaki itu hingga Ellen terpikat.

Akhirnya untuk membuat harinya kembali ceria, Ellen menyeret sang adik, Ellias, ke supermarket untuk membeli bahan makanan. Dia juga menjanjikan cheese cake lembut kesukaan Ellias agar adiknya itu tidak terus menerus mengeluh sepanjang jalan.

"Apa kau masih harus memilih di antara daging-daging itu?" tanya Ellias kesal. Dia tidak mengerti apa bedanya di antara semua daging itu. Toh sama-sama bisa dimasak. Menurutnya Ellen hanya membuang waktu.

Ellen berdecak malas. "Dijelaskan pun kau tidak akan mendengarkan. Jadi lebih baik diam saja."

Ellias melipat kedua tangan di depan dada. "Apa masih banyak yang ingin dibeli? Lebih baik kita bagi tugas. Kau bisa menyuruhku mencari barang-barang yang sudah pasti."

"Ide bagus. Kau bisa mencari bahan-bahan untuk membuat kuenya. Biar kukirim melalui pesan chat apa saja yang perlu kau beli."

Beberapa menit kemudian Ellen sudah selesai memilih daging dan sayuran untuk makan siang dan makan malam. Dia masih melanjutkan perburuan bahan makanannya menuju rak yang lain. Namun saat hendak mengambil saus tomat dalam kemasan botol, tangan lain menyentuh benda yang sama. Mendadak sifat tak mau mengalah Ellen muncul dan membuatnya mengeratkan pegangan di bagian bawah botol sementara tangan orang itu menggenggam bagian atasnya.

"Maaf, tapi sepertinya aku yang lebih dulu—" Seketika tubuh Ellen membeku begitu matanya beradu dengan manik biru yang telah mengganggunya beberapa hari terakhir. Refleks dia mundur dua langkah dengan bibir terbuka, tak menyangka objek fantasinya kini berdiri di depan mata, begitu dekat hingga Ellen bisa menghirup aroma tubuh lelaki itu.

Sementara itu mata Dennis menyipit dan rahangnya menegang melihat wanita di hadapannya membeku lalu mundur menjauh, masih dengan botol saus di tangan mereka berdua. Tampak jelas dia ketakutan, seperti kebanyakan wanita yang melihat wajah Dennis dengan bekas lukanya atau mengetahui masa lalunya. Tapi sungguh, biasanya Dennis bisa bersikap tak acuh dengan pandangan orang-orang. Tapi entah mengapa tatapan wanita cantik di depannya ini sangat mengganggu dan membuatnya marah. Bahkan wanita itu terlihat gemetar ketakutan dengan nafas terengah.

Kesal, Dennis menyentak botol saus di tangan mereka hingga terlepas dari tangan si wanita. Lalu dia berbalik menjauh dengan hati mendidih marah.

Ellen masih membeku di tempat dengan pandangan mengarah pada punggung Dennis yang akhirnya menghilang ke barisan rak yang lain.

Apa tadi itu mimpi?

Apa mendadak Ellen jadi berhalusinasi karena kesal tidak bisa melihat lelaki itu pagi ini?

"Kak, kau baik-baik saja?" tanya Ellias yang mendadak sudah di depan Ellen dan mengguncang pelan kedua bahunya. "Apa dia melukaimu?" Ellias berbisik. "Tadi aku melihat kalian berdiri sangat dekat."

Ellen tersentak, seolah baru tersadar dari jerat hipnotis. "Apa tadi benar-benar Dennis Anthony?" tanya Ellen juga dengan berbisik.

"Iya."

"Astaga!"

Ellen menutup mulut dengan kedua tangan. Apa tadi liurnya menetes saat menatap lelaki itu? Atau tanpa sadar Ellen mengatakan hal konyol yang membuat lelaki itu tahu bahwa Ellen menjadikannya objek fantasi?

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang