17

28.4K 3.6K 167
                                    

Jumat (21.20), 12 April 2019

----------------------------

Semakin sore, Ellen semakin gelisah. Ayahnya pasti marah besar dan tidak mungkin membiarkan Dennis begitu saja tanpa peringatan tegas. Ditambah lagi luka-luka di tubuh Ellen. James pasti akan lebih marah lagi jika tahu dari mana Ellen mendapat semua luka itu.

Dennis yang baru selesai mandi menghampiri Ellen yang duduk di sofa. Dia sedikit heran mengapa wanita itu tak mengganggunya dan sama sekali tak cerewet sejak ia keluar dari kamar setelah tidur siang.

"Kau kelihatan gelisah," Dennis tak bisa menahan diri untuk berkomentar atas sikap Ellen.

"Oh, tidak apa-apa. Hanya saja, aku sedikit khawatir saat Ayah datang. Dia sangat marah."

"Padaku?"

Ellen mengangguk.

"Karena menghinamu. Itu memang salahku." Dennis mengakui.

"Ayah juga merasa kau yang menyebabkan ibu marah dan mengusirku dari rumah," kata Ellen sedih.

"Apa ayahmu sudah tahu tentang kekerasan fisik yang dilakukan ibumu?"

Ellen tertunduk lalu menggeleng. "Itu yang kutakutkan. Ayah pasti akan sangat marah. Aku tidak mau orang tuaku bertengkar."

"Tapi perbuatan ibumu tidak bisa dibenarkan dan tidak seharusnya ditutupi."

Ellen tidak mengatakan apapun lagi, sadar betul ucapan Dennis benar. Tapi lalu dia mendongak mendengar suara mobil mendekat.

"Itu pasti ayahku."

Ellen berdiri, bergegas menuju pintu diikuti Dennis. Mereka berdiri berdampingan di teras saat James Morris datang mendekat dengan langkah lebar.

"Ayah," sapa Ellen dengan senyum lebar. Tapi senyumnya langsung menghilang saat James menghampiri Dennis lalu melayangkan tinjunya ke wajah Dennis.

BUGH!

Dennis jatuh tersungkur ke lantai. Pukulan James sangat keras hingga sudut bibirnya berdarah. Dan pipi Dennis tergores cincin yang dikenakan James, membuatnya mendapat goresan panjang berdarah di pipinya.

"Ayah!" seru Ellen dan langsung menghampiri James lalu merangkul lengannya erat, menahan sang ayah yang tampaknya masih bernafsu memukuli Dennis.

"Minggir, Ellen!" geram James namun tatapannya tidak beralih dari Dennis yang masih terduduk di lantai. "Aku tidak pernah melarang putriku untuk berteman dengan siapapun. Tapi jika kau atau siapapun berani menyakitinya, aku tidak akan tinggal diam!"

"Ayah, Dennis sudah minta maaf. Dan dia juga tidak berniat melakukannya." Nada suara Ellen terdengar memohon.

James menoleh ke arah Ellen. "Tidak perlu membelanya. Biar dia sendiri—" James membeku. Pandangannya tertuju pada luka di sudut bibir Ellen dan pipinya yang bengkak. "Ada apa dengan wajahmu? Apa bajingan ini berani melukaimu secara fisik?" wajah James memerah marah.

Perlahan Dennis berdiri namun sama sekali tidak berniat membalas. Sementara itu Ellen buru-buru menggeleng.

"Bukan. Bukan Dennis pelakunya."

"Lalu siapa?!" bentak James.

Ellen menggigit bibir, tidak berani melanjutkan.

"Siapa, Ellen?!"

"Ibunya," sela Dennis. "Di kepalanya juga ada luka."

James ternganga. Jemarinya mengepal kuat. Lalu dia menoleh tiba-tiba ke arah Dennis sambil menunjuk dengan murka. "Ini semua gara-gara perkataanmu. Kau membuat Ellen terdengar seperti jalang yang memohon belaianmu."

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang