38a

27.9K 3.4K 68
                                    

Senin (22.53), 23 September 2019

Cuma segini -_-

---------------------------

Malamnya, kediaman keluarga Morris dipenuhi percakapan ringan dan gelak tawa. Seolah tidak ada masalah yang masih mengganjal dalam hati mereka. Siapa pelakunya kalau bukan Sintha. Ada saja yang mau dia bicarakan dengan bersemangat, membuat Ellen mau tak mau mengikuti antuasiasme adik Dennis itu.

Makan malam lezat yang dibuatkan Bibi Missy sama sekali tak menggugah selera Ellen. Tapi berkat tiga orang yang terus mendampinginya, dia bisa menghabiskan setengah porsi di piringnya.

Usai makan malam, mereka terus mengobrol di ruang keluarga. Mereka berempat ada di sana, tapi seolah membentuk kelompok berdasarkan jenis kelamin. Entah apa yang dibicarakan para lelaki, yang jelas Sintha sangat antusias menceritakan kisah-kisah imajinasinya pada Ellen yang mendengarkan juga dengan sama antusiasnya. Bagaimanapun Sintha adalah penulis favorit Ellen. Bocoran alur kisah dari Sintha membuatnya bisa sedikit memalingkan wajah dari masalah di depan matanya.

Tapi saat malam semakin larut dan tamu-tamunya mulai kelelahan, rasa sesak dan sepi kembali menghimpit dada Ellen. Saat ini di kamarnya, Ellen hanya berdiri di balkon, membiarkan udara dingin menamparnya.

Beberapa detik berlalu, ingatan-ingatan masa lalu penuh bahagia yang berpadu dengan tragedi beberapa minggu ini membuat air mata Ellen bergulir. Semakin lama semakin deras, hingga akhirnya dia menangis tersedu, membuat tubuhnya yang semula berdiri tegak merosot ke lantai.

Kenapa semua bisa seperti ini? Kenapa hidupnya bisa sehancur ini?

Ellen terus menangis memilukan. Ditemani udara dingin. Ditemani kegelapan.

***

Dennis tidak bisa tidur. Pikirannya berpusat pada Ellen. Dia yakin wanita itu juga belum tidur. Dan mungkin sedang menangisi nasibnya.

Turun dari ranjang, Dennis keluar kamar lalu melangkah menuju kamar Ellen. Di depan pintu kamar, dia tak mendengar apapun. Tapi instingnya sangat yakin bahwa Ellen belum tidur.

Mencoba peruntungan, Dennis memutar kenop pintu. Dan ternyata tidak terkunci. Pintu terbuka dengan mudah, menampakkan keremangan di dalamnya dengan cahaya yang hanya berasal dari lampu taman di luar.

Dennis terus masuk dan dengan mudah pandangannya menemukan sosok Ellen yang terduduk di lantai sambil menangis tersedu. Sudah dirinya duga. Ellen tidak mungkin bisa tidur dengan mudah. Mungkin siang tadi pun wanita itu tidak tidur, hanya terus menangis sampai Dennis memanggilanya untuk makan malam.

Hati-hati Dennis menutup pintu lalu menuju balkon. Di depan Ellen dia berjongkok seraya membelai puncak kepala wanita itu.

"Butuh tempat bersandar?"

Ellen mendongak dengan wajah basah. Dia menatap Dennis lama tanpa mengatakan apapun.

"Aku bisa meminjamkan pundak atau dadaku. Tinggal pilih mana yang bisa membuatmu nyaman."

Ellen tetap diam. Hanya memandang Dennis lama.

Akhirnya Dennis berinisiatif mengangkat tubuh Ellen ke dalam bopongannya lalu membawanya ke ranjang. Hati-hati dia membaringkan tubuh Ellen lalu duduk di sisinya sambil memegang satu tangan Ellen.

"Tidurlah. Aku akan menemanimu sampai kau lelap."

Kata-kata Dennis malah membuat air mata Ellen kembali bergulir. "Aku sendirian—"

"Kenapa terus berkata begitu? Ada aku," tandas Dennis.

Sejenak dia hanya menatap Dennis. Tapi detik selanjutnya tersenyum seraya mengangguk dan air matanya masih terus mengalir.

"Tidurlah," perintah Dennis lagi dengan lembut.

Ellen mengagguk. Tapi setelah beberapa detik berlalu, matanya tetap terbuka lebar menatap Dennis.

Dennis menahan senyum geli. Merasa Ellen mirip anak kecil. Lalu dia letakkan telapak tangannya menangkup di atas mata Ellen. "Pejamkan matamu dan tidur."

Ellen tak mengatakan apapun dan hanya langsung menuruti perintah Dennis untuk menutup mata. Di luar dugaan, dalam sekejap alam mimpi sudah menarik Ellen sampai ke dasar.

***

Tiga hari berlalu, tak terjadi apapun. Tak ada insiden berarti yang berhubungan dengan Ellias dan keluarga Morris.

"Apa menurutmu Ellias sudah pergi?" tanya Dennis begitu dirinya hanya berdua dengan Xavier usai sarapan.

Xavier menghela napas. "Aku tidak tahu. Jika benar begitu, kuharap dia tidak akan kembali lagi."

Dennis mengangguk setuju.

Malamnya, Ellen memberitahukan hal yang mengejutkan. Dia ingin bekerja. Di perusahaan papanya.

"Aku tidak bisa terus diam saja seperti ini dan menunggu. Banyak yang harus kuselesaikan. Terutama mengenai perusahaan Ayah. Aku harus mulai mengambil alih atau perusahaan itu akan hancur perlahan.

"Tapi kita belum yakin apa di luar sana sudah aman. Apa Ellias sudah berhenti mengejar atau masih berkeliaran menunggu kesempatan."

"Tapi aku tidak bisa membiarkan perusahaan Ayah!" seru Ellen.

Dennis menoleh ke arah Xavier minta bantuan. Tapi Xavier hanya menghela napas lalu mengangguk. "Memang sudah saatnya Ellen mengambil alih apa yang ditinggalkan James.

"Apa aman untuknya?" Dennis masih tidak rela.

"Tidak ada yang tahu. Dan menunggu berbulan-bulan pun kemungkinan kita juga tidak akan pernah tahu."

"Lagipula semua bergantung takdir," celetuk Sintha. "Maksudku, orang juga bisa mati hanya karena tersandung batu. Bukankah bahaya memang selalu mengintai di sekitar kita?"

Ellen mengangguk semangat karena mendapat dukungan dan Xavier dan Sintha. Lalu dia menoleh ke arah Dennis dengan sorot memohon.

"Baiklah." Dennis angkat tangan. "Mulai besok kau boleh pergi bekerja. Lagipula kalau aku bilang tidak, apa kau akan langsung menurut dan berhenti?"

Ellen tersenyum kecil. "Kurasa tidak."

----------------------------

~~>> Aya Emily <<~~

His Eyes (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang